Jumat, 31 Januari 2014

MENGGAPAI KERINDUAN DENGAN KERINDUAN (Kisah Sayyidina Hasan & Husain Berlomba Berwudhu)

Suatu ketika, saat Sayyidina HASAN
dan Sayyidina HUSAIN (yang saat itu
masih anak-anak) melihat seorang
kakek yang sedang berwudhu
dengan cara yang salah. Muncullah
keinginan dari dua cucu Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa sallam ini untuk
bisa mengingatkan orang tua
tersebut, agar amal ibadahnya benar
tanpa menyinggung perasaanya.
Kemudian Sayyidina Hasan
bersepakat dengan Sayyidina Husain
untuk berlomba berwudhu dan
menjadikan sang kakek sebagai juri
yang akan menilai kebenaran wudhu
mereka. Lomba berwudhupun
dimulai. Dan di akhir perlombaan
tersebut, sang kakekpun tersadar
bahwa wudhu Sayyidina Hasan dan
Husain lebih benar dan sempurna
dari wudhunya sendiri.
Ini adalah pelajaran dakwah dari
cucu Rasulullah Shollallahu ‘alayhi
wa sallam, dengan menyertakan
kemuliaan akhlak dan tatakrama
dalam mengingatkan orang lain
khususnya yang lebih tua.
Sahabatku, mengingatkan orang lain
artinya kita mengajak orang lain agar
bisa lebih baik dan benar, bukan
untuk menghukuminya sebagai yang
salah dan terhinakan. Melihat orang
lain dengan penuh kasih sayang dan
menghargainya adalah pancaran
ketulusan seorang penyeru kebaikan.
Dari situlah kejayaan dihadapan Allah
akan di peroleh. Pembelajaran ini
sangat tepat bagi Juru dakwah
termasuk didalamnya adalah Ustadz
dan Kyai.
Disaat seseorang menyampaikan
kebaikan haruslah ia melihat dirinya
sebagai yang membutuhkan pahala
dan penghargaan dari Allah dibalik
upaya dakwahnya sebelum melihat
kepada orang lain sebagai orang
yang mebutuhkan kepada ajakannya.
Makna “membutuhkan” inilah yang
menjadikan seseorang tidak kenal
putus asa dalam mengenalkan
kebaikan kepada orang lain. Hingga
ia senatiasa mengambil cara yang
paling indah agar ajakannya bisa
diterima oleh orang lain sebagai
perwujudan makna hikmah yang
diajarkan oleh Allah kepada
Rasulullah Shollallahu’alayhi wa
sallam yang sekaligus harus kita
ikuti.
Sahabatku, Sayyidina Hasan dan
Sayyidina Husain dalam usianya
yang masih amat dini ini sangat
paham makna hikmah berdakwah
karena mereka adalah cucu dari
sumber hikmah Rasulullah
Shollallahu’alayhi wa sallam. Beliau
berdua tidak ingin menyakiti hati
orang tua tersebut dengan “salah
menegur” saat sang kakek salah
didalam berwudhu. Maka dengan
ketulusan dan kerendahan hati,
mereka berperan sebagai orang yang
ingin benar didalam berwudhu
padahal sebenarnya mereka ingin
membenarkan wudhu orang lain.
Alangkah mulianya akhlakmu wahai
cucu Rasulullah Shollallahu’alayhi wa
sallam. Dan alangkah indahnya
siapapun yang ingin mengajak
kebaikan lalu mengajak dengan
penuh kasih dan ketawadhuan.
Sungguh dakwah bukanlah pamer
ilmu atau bangga akan sebuah gelar.
Akan tetapi dakwah harus berangkat
dari keindahan menuju keindahan
dan dengan cara yang indah.
Dan setelah itu, mari kita bercermin,
sadar diri dan mencermati diri dan
sekitar kita! Dimana hikmah dan
akhlak kita saat mengajak orang lain
kepada kebaikan? Bisakah menuai
hasil jika mulut dan lidah kita tidak
luput dari kalimat cacian dan
penghinaan terhadap orang yang kita
anggap salah?
Dimana kasih sayang dan kerinduan
kita untuk merindukan orang lain
kepada Allah SWT ? Jangan sampai
ajakan kita kepada Allah berubah
menjadi ajakan kepada diri sendiri
atau kelompok. Bisakah orang lain
rindu kepada Allah jika yang
mengajak bukanlah orang yang
merindukan Allah SWT ? Dari
kerinduan kepada Allah inilah akan
hadir ajakan yang dirindukan dan
penuh kasih untuk menghantarkan
hamba-hamba Allah kepada
kerinduan kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala..
Wallahu a’lam bisshowab
Oleh : Al-Mukarrom Buya Yahya

Memandang Wajah Ulama Adalah Ibadah

“Kutipan Ceramah Al-Habib Jamal
bin Thoha Baagil”
Ada suatu kaum yang daerah tempat
mereka tinggal tidak turun hujan
hingga bertahun-tahun. Mereka
sudah hampir mati. Shalat Istisqa’
dilakukan berkali-kali, tetapi hujan
tidak kunjung datang.
Kemudian ada seorang yang
dianggap awam, memasuki daerah
tersebut dan berkata: “Wahai hadirin.
Apa yang kalian lakukan?”
“Istisqa’. Minta hujan”, jawab
mereka.
“Bolehkah saya membantu berdoa
agar hujan turun?”
“Lha wong orang sedesa sudah doa
dan istisqa’ belum juga turun hujan,
kok sampean berani nantang turun
hujan?”
“Mungkin doa saya diterima oleh
Allah.”
“Ya sudah kalau begitu, monggo
silakan.”
Kemudian orang asing tersebut
menengadahkan tangan ke langit
seraya berdoa: “Ya Allah, berkat apa
yang ada dimataku ini, tolong
turunkan untuk mereka hujan ya
Allah.”
Tidak lebih dari 10 menit langit
mendung. Tidak sampai setengah
jam kemudian turunlah hujan. Mereka
bertanya:
“Apa doa yang kau lakukan?”
“Saya hanya tawasul dengan amal
saya.”
“Apa amalan yang ada di matamu?”
“Saya hanya tawasul dengan mata
saya yang pernah memandang
seorang wali dan ulama, bernama
Abu Yazid al-Busthami.”

Memandang wajah seorang alim
adalah ibadah. Ini merupakan salah
satu kemuliaan yang diberikan Allah
kepada hambaNya yang berilmu.
Berdoa agar keinginan dikabulkan
oleh Allah melalui tawasul dengan
amal, dalilnya tentu sudah kita
ketahui. Karena haditsnya shahih dan
masyhur. Yaitu hadits tiga orang
yang terperangkap di dalam gua.
Wallahu a’lam

Kamis, 30 Januari 2014

Duhai, Betapa Indahnya Syafa’at Nabi

Allah SWT mensifatkan kepada kita,
disabdakan oleh Nabiyyuna
Muhammad SAW, siksa api neraka
yang paling ringan itu adalah
dipakaikan dua bara api dikakinya
yang terbuat dari api neraka
sehingga bergolaklah kepala dan
otaknya, inilah siksaan yang paling
ringan, dan bagaimana siksaan yang
paling berat, inilah hadirin hadirot
penjara diyaumil-qiyamah wa li
a’udzubillah untuk penebusan dosa.
Diriwayatkan didalam Shohih Bukhori,
Rasul SAW bersabda; “ketika
penduduk surga sudah masuk
kedalam surga, dan penduduk neraka
sudah masuk kedalam neraka, maka
berkatalah para malaikat; “yaa ahlal
jannah khulud laa maut yaa ahlan-
naar khulud laa maut” wahai
penduduk surga abadi tiada akan
pernah menemui kematian, wahai
penduduk neraka tiada akan pernah
menemui kematian” disaat itulah
penduduk surga bertakbir dan
bersyukur kepada Allah, mereka akan
terus dalam kebahagiaan sepanjang
waktu dan zaman, tidak terbatas
dengan zaman, tidak berakhir dengan
masa, tidak bertambah lanjut usia,
mereka terus didalam kebahagiaan,
didalam jaminan Ilaahi, tiada pernah
wafat selama-lamanya, penduduk
neraka menjerit ketakutan mendengar
suara ini; wahai penduduk neraka
tiada kematian, walaupun mereka
akan merasakan kematian beribu-ribu
kali, karena pedihnya siksa, namun
tiada akan pernah wafat dan selesai,
akan terus dalam kehinaan, terkecuali
mereka menemui kebebasan.
Oleh sebab itulah, ketika Abu
Hurairah ra bertanya; ya Rasulullah
man as’adunnas bi syafa’atii yaumal-
qiyamah, wahai rasul, siapa orang
yang paling beruntung mendapatkan
syafa’atmu dihari kaiamat? Rasul
menjawab; as’adunnaas bi syafa’atii
yaumal-qiyamah man qoola laa
ilaaha illallah kholishon min qibali
nafsihi” orang yang paling beruntung
mendapatkan syafat’atku dihari
kiamat adalah orang yang mengucap;
laa ilaaha illallah” dari dalam dirinya,
laa ilaaha illallah” dia tidak ingin
menyembah selain Allah, tidak mau
mengakui Tuhan selain Allah,
sebesar apapun dosanya, sebanyak
apapun kesalahannya, selama
jiwanya menolak menyembah selain
Allah, pasti dia akan ditemui
syafa’atunnabi Muhammad.
Hadirin hadirot demikian dahsyatnya
rahmat-Nya Allah, dengan
kebangkitan sayyidina Muhammad
SAW wa barak’alaih, kita berkata lalu
bagaimana dengan dosa-dosa,
selesaikah sudah? Kalau toh nanti
bakal masuk surga juga, hadirin,
sebagaimana kita dimuka bumi juga
tidak mau dizholimi, tidak mau dapat
musibah, demikian pula diyaumil-
qiyamah musibah yang demikian
dahsyat, pencucian dosa yang
demikian dahsyat yang sangat
menakutkan dan merisaukan, satu
hari adalah bagaikan seratus tahun,
demikian hadirin hadirot yang
dimuliakan Allah.
Rasul SAW bersabda diriwayatkan
didalam Shohih Bukhori; “orang-
orang yang keluar kelak dari dalam
neraka itu, dalam keadaan hangus,
walaupun hanya baru beberapa
menit, belum sampai ke neraka sudah
hangus mereka dari panasnya api
neraka, namun ketika mereka telah
hangus ini Allah SWT memerintahkan
malaikat untuk menenggelamkannya
di “naHrul hayat” yaitu didanau
kehidupan, demikian riwayat Shohih
Bukhori, maka tumbuhlah seluruh sel
tubuhnya yang telah hangus, apakah
ia bisa, sebagaimana kita berasal dari
satu sel, tumbuhlah milyaran sel
disekitar tubuh kita menjadi manusia,
berbicara, mendengar, melihat dan
segala-galanya, demikian pula ketika
mereka yang telah hangus dalam api
neraka, wa li a’udzubillah , Allah SWT
mengeluarkannya dengan syafa’at,
mereka adalah orang-orang yang
nomor dua dari pada yang
mendapatkan syafa’at, yang pertama
mendapatkan syafa’at adalah
mu,minin, sholihin, muqorrobin,
orang-orang yang masuk surga
tanpa hisab disyafa’ati oleh Rasul,
agar lebih cepat masuk kedalam
surga.
Demikian dijelaskan oleh Imam ibnu
Hajar dalam kitabnya fathul baari bi
syarah Shohih Bukhori, bahwa ketika
Rasul SAW mensyafa’ati itu, Rasul
berkata didalam Shohih Bukhori
dijelaskan; “yahuddu hadda” Allah
memberi batasan-batasan kepada
sang Nabi, pertama orang-orang
mu,minin, muqorrobin, sholihin,
syuhada, ini dulu dibebaskan dan
tidak mendapatkan hisab, percepat
masuk ke dalam surga, lalu kelompok
kedua yang diangkatnya lagi derajat,
dari derajat surga menjadi derajat
yang lebih tinggi dengan
syafa’atunnabi SAW, ada pula yang
diberi hak memberi syafa’at yaitu
para syuhada, para ulama, para
auliya, diberi izin untuk memberi
syafa’at, dan pula Rasul SAW
mensyafa’ati batasan umat demi
batasannya, Imam ibnu Hajar
menyebut batasannya, mereka yang
malas berbuat ibadah, mulai semakin
tinggi mereka dari para pezina, orang
yang meninggalkan sholat, orang
yang mabuk, dan kesemuanya ini
hadirin hadirot pasti diakhir, akan
mendapatkan syafa’at selama mereka
tidak menyekutukan Allah, walaupun
terlambat, entah seribu tahun, entah
ratusan ribu tahun, entah milyaran
tahun, mereka akan menemui syafa’at
Muhammad SAW, ribuan tahun itu
bukan hal yang sebentar hadirin
hadirot, mereka dizaman sekarang
ada yang menanti di alam barzah,
mungkin seribu tahun lagi untuk
mencapai hari kiamat, kita saja
adalah beberapa hari terkena
musibah misalnya, jiwa kita telah
mulai sempit dan bingung, lebih-
lebih lagi ketika ribuan tahun tinggal
didalam bara api yang gelap dan
hitam.
Demikian hadirin hadirot, namun kita
mengingat disini betapa agungnya
rahmat-Nya Allah, dengan
memunculkan sosok Muhammad
Rasulullah SAW kepada kita, Imam
ibnu Hajar al-Asgholani didalam
kitabnya fahul baari bi syarah Shohih
Bukhori menjelaskan, menukil pada
hadits shohih dan tsiqoh bahwa
disaat itu ketika para Nabi melintas
dijembatan shirot, Rasul SAW
didatangi oleh Nabi Isa as dan
berkata; wahai Muhammad al-an
waktah” wahai Muhammad sekarang
waktumu, ini umat sudah pecah
belah, sudah cerai berai dan masing-
masing teman tidak kenal temannya,
sahabat tidak kenal sahabatnya,
sebagaimana firman Allah: “yauma
yafirru mar’u min akhih wa ummihi
wa abih wa shohibatihi wa banih”
hari dimana manusia itu lari dari
temannya, lari dari keluarganya, lari
dari ayah ibunya, lari dari anaknya,
menghindar dari suami dan istrinya,
karena apa? karena risaunya mereka
atas hari yang demikian besar, takut
dituntut, dan dihari itulah Nabi Isa
berkata: sekarang waktumu wahai
Muhammad, ini umat sudah cerai
berai semua, Rasul SAW berdiri
dijembatan shirot menanti umat, saat
semua teman lupa pada temannya,
Rasul tidak lupa dari umat, jika
beliau melihat umat beliau melintas
beliau mengenalkan dirinya “ana
shohibuk-ana shohibuk” demikian
Imam ibnu Hajar menukil hadits
didalam kitabnya fathul baari bi
syarah Shohih Bukhori, aku ini
temanmu kata Rasul aku temanmu,
maksudnya semua teman bisa lupa
padamu terkecuali Nabi Muhammad,
tidak lupa pada umatnya SAW wa
barak’alaih wa ‘ala alih, demikian
hadirin hadirot indahnya
sayafa’atunnabi. Sampailah
manusia-manusia yang telah sampai
ke dalam surganya Allah SWT,
sehingga Rasul SAW bersabda
diriwayatkan didalam Shohih Bukhori;
“orang-orang itu disurga kelak wajah
mereka bagaikan bulan purnama,
bulan disaat purnama, terang
benderang dengan keindahan, wajah
mereka dinaungi cahaya Ilaahi SWT,
terang benderang.
(Masya Allah)
diceritakan oleh Habib Munzir bin
Fuad Al-Musawwa

Kalam Hikmah Al Maghfurlah Sulthonul Qulb Habibana Munzir bin Fuad AlMusawa

Dahulu ketika Habib Ali (kwitang)
masih hidup, ada seseorang yang
ketika setiap Beliau lewat atau
melintas orang tersebut meludahi
Beliau (Habib Ali), orang ini sangat
membenci Beliau, sehingga membuat
beberapa murid Habib Ali merasa
sangat geram dengan perlakuannya
terhadap Beliau, Habib Ali pun
melarang murid-muridnya untuk
marah, Beliau sangat lembut hati dan
nasehatnya.
Suatu ketika Habib Ali memberikan
sembako kepada orang-orang yang
kurang mampu disetiap bulannya
(bersedekah), dan orang yang
membenci Beliau pun tak lupa untuk
diberikan pesan Habib Ali, namun
muridnya tidak menerimanya karena
orang ini tidak pantas menerimanya,
Habib Ali pun berkata kepada
muridnya, ''berikan saja kepada
orang itu, tapi bilang jangan dari
saya tapi darimu'', sembako itu pun
diberikan kepada orang tersebut
setiap 1 bulan sekali selama 2 tahun,
orang tersebut bertanya dari siapa ini
sembako? Murid Habib Ali hanya
berkata sudah terima saja ada yang
bersedekah untukmu, awalnya orang
ini tidak mau menerima namun
akhirnya diterima juga.
sampai waktu 2 tahun lamanya
sembako yg diberikan tiba-tiba
terhenti, orang yang membenci Habib
Ali ini pun bertanya kepada murid
Habib Ali, mana sembako yang biasa
kau kirimkan untukku setiap bulan?
Mengapa sekarang aku sudah tidak
menerimanya?, murid Habib Ali pun
menangis, apakah kau tidak tahu
siapa yang memberikan hadiah
sembako untukmu? Beliau adalah
orang yang kau benci dan kau ludahi
setiap kau berpapasan dengannya,
dan kalau saja aku tidak dilarang
dahulu oleh Beliau, sudah aku
remukkan wajahmu, ketahuilah
sembako berhenti karena Habib Ali
sudah wafat.
orang yg membenci Habib Ali pun
bertaubat, dan mulai saat dan hari itu
dia tidak pernah absen dari hadirnya
di Majelis Al Habib Ali Al Habsyi
(Kwitang)

Selasa, 28 Januari 2014

Kisah-Kisah Penuntut Ilmu

KISAH KISAH PENUNTUT
ILMU
Ilmu itu memusuhi pemuda yang
tinggi hati. Sebagaimana banjir
memusuhi tempat yang tinggi
“Kita lebih perlu kepada sedikit adab
dari pada kepada banyak ilmu”
demikian ungkapan penting yang
dituturkan Ibnu al-Mubarak.
Ungkapan itu sama sekali bukan
ungkapan yang mengecilkan peran
ilmu. Karena, ilmu memang penting,
bahkan sangat penting. Sejak kecil
kita telah dipesankan ihwal
pentingnya ilmu dan kewajiban
menuntutnya. Tentu kita sangat
mengenal sabda Rasulullah saw,
“Menuntut ilmu adalah kewajiban
bagi setiap muslim”.
Tetapi Islam tak hanya menekankan
pentingnya ilmu. Akhlaq yang mulia
juga sangat penting, bahkan lebih
penting lagi. Sabda Nabi saw yang
sangat terkenal menegaskan hal itu,
“Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlaq yang
mulia.” Perhatikanlah, tujuan Nabi
Saw diutus pun, sebagaimana yang
beliau ungkapkan sendiri, adalah
menyempurnakan akhlaq yang mulia.
Tentu dalam pengertian yang luas
dan menyeluruh yang dimulai dengan
akhlaq terhadap Allah swt.
Dari hadits tersebut kita dapat
memahami betapa Islam sangat
mementingkan akhlaq. Dalam
pelaksanaannya, akhlaq yang bersifat
global itu terwujud dalam adab adab
yang khusus, mulai dari adab
terhadap Allah, adab terhadap Nabi,
adab terhadap orang tua, adab
terhadap anak, adab terhadap guru,
murid, adab terhadap keluarga,
tetangga, terhadap tamu, dan
sebagainya. Juga adab dalam
melakukan berbagai perbuatan, baik
ibadah ibadah maupun yang lainnya.
Demikian pentingnya perkara adab,
sehingga Ibnu Al-Mubarak juga
mengatakan, “Barangsiapa
meremehkan adab, niscaya dihukum
dengan tidak memiliki hal hal
sunnah. Barang siapa meremehkan
sunnah sunnah, niscaya dihukum
dengan tidak memiliki (tidak
mengerjakan) hal hal yang wajib.
Dan barang siapa meremehkan hal
hal yang wajib, niscaya dihukum
dengan tidak memiliki makrifah.”
Karena itulah, seorang ulama
berpesan kepada anaknya, “Wahai
anakku, sungguh , engkau
mempelajari satu bab adab lebih aku
sukai daripada engkau mempelajari
tujuh puluh bab ilmu.”
Apa yang dituturkan Abdurrahman bin
al-Qasim berikut ini semakin
menguatkan hal tersebut, “Aku
mengabdi kepada Imam Malik selama
20 tahun, dua tahun diantaranya
untuk mempelajari ilmu dan 18 tahun
untuk mempelajari adab. Seandainya
saja aku bisa jadikan seluruh waktu
tersebut untuk mempelajari adab
(tentu aku lakukan).”
Apa yang dikatakan oleh Ibnu Al-
Mubarak diatas tidak berarti ilmu
tidak penting, karena jika demikian
berarti bertentangan dengan ajaran
agama. Kalimat “Kita lebih perlu
kepada sedikit adab daripada kepada
banyak ilmu” artinya bagi orang yang
memiliki banyak ilmu tetapi tidak
memiliki adab sama sekali, sedikit
adab baginya lebih penting dan lebih
ia perukan daripada ilmunya yang
banyak yang tak disertai adab. Jadi,
bukan berarti kita hanya butuh adab
yang sedikit, dan bukan pula berarti
tidak butuh ilmu yang banyak. Kita
tetap butuh adab yang banyak
sekaligus ilmu yang banyak pula.
Suatu ketika Imam Syafi’i menuturkan
apa yang pernah dikatakan oleh
gurunya, Imam Malik kepadanya,
“Wahai Muhammad (nama Imam
Syafi’i), jadikanlah ilmumu bagus dan
adabmu halus”.
Ya, jika kita ingin memiliki
kebahagiaan di dunia dan di akhirat,
ilmu dan adab memang sama sama
harus dimiliki, tak boleh dipilih salah
satu saja. Wajarlah jika kemudian
ada ulama yang mengatakan,
“Apabila seorang pengajar
menggabungkan tiga hal (memiliki
ketiganya), sempurnalah nikmat
yang dirasakan oleh pelajar:
Kesabaran, tawadhu’, dan akhlaq
yang baik. Dan apabila seorang
murid menggabungkan tiga hal
(memiliki ketiganya), niscaya akan
sempurnalah nikmat yang dirasakan
oleh pengajar: akal, adab dan
pemahaman yang baik.” Demikian
dikutip dari kitab al-Ihya’.
Literatut literatur kita sangat kaya
dengan kisah kisah adab para salaf
dalam menuntut ilmu dan sangat
banyak butiran mutiara hikmah yang
dapat kita petik darinya. Uraian
berikut akan memaparkan sebagian
diantaranya, yang fokusnya pada
adap terhadap ilmu dan terhadap
guru, yang sebagian besar bahannya
dikutip dari kitab Al-Manhaj As-Sawi,
karya Habib Zein bin Ibrahim bin
Smith.
Dihikayatkan bahwa suatu saat Abu
Yazid Al-Busthami, tokoh sufi
terkemuka, bermaksud mengunjungi
seorang laki laki yang dikatakan
memiliki kebaikan. Maka ia pun
menunggunya di sebuah masjid.
Orang yang ditunggu itu pun keluar,
kemudian meludah di masjid, yakni di
dindingnya sebelah luar.
Menyaksikan hal itu, Al-Busthami
pun pulang dan tidak jadi bertemu
dengannya. Ia mengatakan “Tidak
dapat dipercaya untuk menjaga
rahasia Allah, orang yang tidak dapat
memelihara adab syari’at.”
Sebelum memperhatikan perincian
adab yang mesti dijaga saat
menuntut ilmu, langkah pertama yang
harus dilakukan oleh seorang
penuntut ilmu adalah membersihkan
hatinya. Mengenai hal ini, al-Imam
An-Nawawi mengatakan dalam
mukadimah kitab Syarh al-
Muhadzdzab, “Semestinya seorang
pelajar membersihkan hatinya dari
kotoran agar layak untuk menerima
ilmu, menghafalnya, dan
mendapatkan buahnya.”
Masalah hati memang sangat
ditekankan dalam islam, karena ia
menjadi kunci terpenting dari segala
sesuatu. Dalam Shahih al-Bukhari
dan Shahih Muslim, terdapat hadits
Rasulullah saw yang menyebutkan,
“Sesungguhnya didalam tubuh
terdapat segumpal daging yang,
apabila baik, baik pula seluruh tubuh,
dan, apabila rusak, rusak juga
seluruh tubuh. Ketahuilah itulah
hati.”
Para ulama mengatakan,
membersihkan hati untuk ilmu seperti
membersihkan tanah untuk ditanami.
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad
membuat perumpamaan yang sangat
tepat tentang hal itu. “Seandainya
engkau datang membawa bejana
yang kotor kepada seseorang yang
engkau ingin mendapatkan minyak
atau madu atau semacamnya dari
orang itu, ia akan berkata kepadamu,
“Pergilah, cucilah dulu”. Ini dalam
urusan dunia, lalu bagaimana
rahasia rahasia ilmu akan
ditempatkan dalam hati yang kotor?”
Diriwayatkan ketika Imam Syafi’i
mendatangi Imam Malik dan
membaca kitab al-Muwaththa
kepadanya dengan hafalan yang
membuatnya kagum dan kemudian
Imam Syafi’i menyertainya terus,
Imam Malik berkata kepadanya,
“Wahai Muhammad, bertaqwalah
kepada Allah dan jauhilah perbuatan
maksiat, karena sesungguhnya
engkau akan memiliki sesuatu yang
sangat penting.” Dalam riwayat lain
disebutkan bahwa Imam Malik
berkata kepadanya, “Sesungguhnya
Allah telah menempatkan cahaya
didalam hatimu, maka janganlah
engkau padamkan ia dengan
perbuatan perbuatan maksiat.”
Imam Syafi’i, yang telah membuat
kagum para gurunya, termasuk Imam
Malik, pernah mengadukan perihal
dirinya yang belum memuaskannya,
“Aku mengadukan kepada
Waki’ (nama salah seorang gurunya)
buruknya hafalanku. Maka ia berikan
petunjuk kepadaku untuk
meninggalkan maksiat. Dan
memberitahukan kepadaku bahwa
ilmu itu cahaya. Dan cahaya Allah tak
akan diberikan kepada yang
melakukan maksiat.”
Sahl bin Abdullah, tokoh ulama lain,
menambahkan, “Sulit bagi hati untuk
dimasuki oleh cahaya jika didalamnya
terdapat sesuatu yang dibenci oleh
Allah”.
Seorang penuntut ilmu juga mesti
memiliki niat yang baik dalam
menuntut ilmu, karena niat itu
merupakan pokok dalam semua
perbuatan, berdasarkan sabda Nabi
Saw, “Hanyasanya semua perbuatan
itu tergantung niatnya,” Karena itu ia
mesti bertujuan untuk mendapatkan
keridhoan Allah, mengamalkan nya,
menghidupkan syari’at, dekat dengan
Allah, menghilangkan kejahilah dari
dirinya dan dari semua orang yang
bodoh, menghidupkan agama dan
melestarikan ajaran Islam dengan
melakukan amar ma’ruf nahi munkar
terhadap dirinya dan orang lain
semampu mungkin.
Tawadhu’ dan Mengabdi kepada
Ulama
Semestinya seorang penuntut ilmu
tidak menghinakan dirinya dengan
perbuatan tamak dan menjaga diri
dari perbuatan takabur. Imam Syafi’i
mengatakan, “Tidak akan berbahagia
seseorang yang mempelajari ilmu
dengan kekuasaan dan tinggi hati,
melainkan yang mempelajarinya
dengan rendah hati, kehidupan yang
sulit, dan mengabdi kepada ulama,
dialah yang akan bahagia.”
Meraih ilmu memang sering kali tidak
mudah, bahkan terkadang bisa
membuat orang yang mengejarnya
merasa rendah di hadapan orang
yang ingin diambil ilmunya. Didalam
suatu riwayat disebutkan, Ibnu Abbas
mengatakan, “Aku hina ketika
menuntut ilmu lalu mulia ketika
menjadi orang yang dituntut
ilmunya.”
Ibnu Abbas sering pergi ke rumah
Ubay bin Ka’ab. Terkadang ia
mendapati pintu rumah Ubay terbuka
sehingga ia segera diizinkan masuk,
dan terkadang pintunya tertutup
sedangkan ia malu untuk
mengetuknya. Maka ia berdiam saja
sampai siang, tetap duduk di depan
pintu rumah. Angin menerbangkan
debu kearahnya sampai akhirnya ia
menjadi tidak dapat dikenali karena
banyaknya debu yang menempel
ditubuhnya dan pakaiannya.
Lalu Ubay keluar dan melihatnya
dalam keadaan demikian. Hal itu
membuatnya merasa tidak enak.
“Mengapa engkau tidak meminta
izin?” tanyanya. Ibnu Abbas
beralasan malu kepadanya.
Pernah terjadi juga, disuatu hari Ubay
ingin menunggu kendaraan, maka
Ibnu Abbas mengambil hewan
kendaraanya sehingga Ubay
menaikinya kemudian ia berjalan
bersamanya. Maka berkatalah Ubay
kepadanya, “Apa ini, wahai Ibnu
Abbas?”
Ibnu Abbas menjawab, “Beginilah
kami diperintahkan untuk
menghormati ulama kami”
Ubay menaiki kendaraan sedangkan
Ibnu Abbas berjalan dibelakang
kendaraan Ubay. Ketika turun, Ubay
mencium tangan Ibnu Abbas. Maka
berkatalah Ibnu Abbas kepaanya,
“Apa ini?”
Ubay menjawab, “Begitulah kami
diperintahkan untuk menghormati
ahlul bayt nabi kami.” Demikian
disebutkan oleh al-Habib Al-Allamah
Abdullah bin al-Hussain Bilfaqih
sebagaimana tersebut dalam kitab
Iqd Al-Yawaqit.
Pentingnya mengabdi kepada ulama
dan taat kepada mereka juga
dituturkan oleh Sufyan bin Uyaynah.
Ia mengatakan, “Aku telah membaca
al-Quran ketika berusia empat tahun
dan menulis hadits ketika berusia
tujuh tahun. Ketika usiaku sampai 15
tahun, ayahku berkata kepadaku,
‘Anakku, syari’at bagi anak anak
telah terputus darimu. Maka
bercampurlah dengan kebaikan.
Niscaya engkau akan menjadi
ahlinya. Ketahuilah, seseorang tidak
akan berbahagia dengan ulama
kecuali orang yang menaati mereka.
Karena itu, taatilah mereka, niscaya
engkau akan bahagia. Dan
mengabdilah kepada mereka, niscaya
engkau akan mendapatkan ilmu
mereka’.
Maka aku mengikuti wasiat ayahku
dan tidak pernah berpaling darinya.”
Demikian dikutip oleh an-Nawawi
dalam Tahdzib- nya.
Meskipun seorang murid harus taat,
mengabdi, dan melayani gurunya,
seorang guru pun akan mendapatkan
kemuliaan bila melayani muridnya.
Artinya, membantu segala sesuatu
yang dapat memperlancar dan
memudahkan murid belajar
kepadanya. Mengenai ini, ada sebuah
ucapan penting dari al-Imam Ja’far
ash-Shadiq, “Ada empat hal yang
tidak semestinya seorang yang mulia
memandannya rendah: bangun dari
majelisnya untuk menyambut
ayahnya, melayani tamunya,
mengurusi kendaraannya, dan
melayani orang yang belajar
kepadanya.”
Ada sebuah perkataan penting dari
Mujahid yang perlu kita simak. “Tidak
akan dapat mempelajari ilmu, orang
yang pemalu, dan tidak juga orang
yang sombong.”
Ungkapan itu dijelaskan oleh Habib
Zein bin Smith: Seorang yang pemalu
tidak dapat mempelajarinya karena ia
tercegah oleh rasa malunya untuk
mempelajari agama dan menanyakan
apa yang tidak diketahuinya,
sedangkan orang yang sombong
tercegah oleh sikap takaburnya dari
mengambil manfaat dan belajar
kepada orang yang lebih rendah
derajatnya. Tidaklah seseorang
menjadi alim sampai ia mengambil
ilmu dari orang yang berada
diatasnya, dari orang yang sama
dengannya, dan dari orang yang
berada dibawahnya.
Al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi
mengatakan, “Semestinya penuntut
ilmu mengambil manfaat yang
bersifat ilmiyah dan adab yang baik
dari mana saja ia dapatkan,baik dari
orang dekat, orang jauh, orang yang
tinggi kedudukannya, atau orang
yang rendah kedudukannya, orang
yang suka menampakkan diri
ataupun orang yang suka
menyembunyikan diri, dan tidak
terbelenggu oleh kebodohan dan
kebiasaan, serta tidak mencegah
dirinya untuk mengambil ilmu dari
orang yang tidak terkenal. Karena,
jika mencegahnya, ia termasuk orang
yang jahil dan lalai dari apa yang
tersebut dalam hadits, “Hikmah itu
adalah barang hilang kepunyaan
setiap mukmin, dimana saja ia
dapatkan, hendaklah ia ambil.”
Ia juga lalai dari apa yang dikatakan
sebagian ahli hikmah, “Lihatlah apa
yang dikatakan, jangan lihat siapa
yang mengatakan.”
Secara tegas, Abu al-Bakhtari
mengatakan, “Bahwa aku berada
disuatu kaum yang lebih alim
daripada aku lebih aku sukai
daripada aku berada di suatu kaum
yang aku paling alim diantara
mereka. Karena, jika aku orang yang
paling alim diantara mereka, aku tidak
dapat mengambil manfaat; sebaliknya
jika aku berada bersama orang orang
yang lebih alim dariku, niscaya aku
dapat mengambil manfaat,” Demikian
dikutip oleh Al-Yafi’i dalam Mir’at al-
Jinan.
Mengejar ilmu, dan merasa diri
belum bisa atau kurang menguasai,
menjadi syarat penting untuk meraih
ilmu, sebagaimana dikatakan Habib
Abdullah bin Alwi Al-Haddad, “Tidak
dibukakan bagi seseorang mengenai
suatu ilmu sampai ia mencarinya dan
meyakini bahwa ia belum
memilikinya.”
Sedikit Makan dan Tidur
Menahan diri dari banyak bersenang
senang, terutama makan dan tidur,
juga menjadi syarat penting seorang
yang sedang berjuang untuk
mendapatkan ilmu. Bagaimana
mungkin seorang yang hidupnya
selalu bersantai santai, rakus
terhadap berbagai makanan, dan
suka tidur, akan bisa mendapatkan
ilmu yang banyak? Itulah sebabnya
Sahnun mengatakan, “Ilmu itu tidak
patut dimiliki orang yang biasa
makan sampai kenyang.”
Luqman al-Hakim, seorang bijak
yang namanya terabadikan dalam Al-
Quran, menyampaikan hikmah
penting kepada anaknya, “Wahai
anakku, jika perut telah penuh,
niscaya pikiran akan tidur, hikmah
akan tuli, dan anggota anggota badan
akan lumpuh dari ibadah.”
Itulah sebabnya, sejak dulu para
ulama terkemuka disaat saat berburu
ilmu senantiasa menjaga dirinya dari
banyak makan. Diantaranya,
sebagaimana yang dikemukakan
Imam Syafi’i, “Aku tidak pernah
kenyang sejak berusia 16 tahun,
karena kenyang itu memberatkan
badan, mengeraskan hati,
menghilangkan kecerdasan,
mendatangkan tidur, dan melemahkan
dari ibadah.” Demikian dikutip dari
kitab Hilyah al-Auliya.
Berkaitan dengan itu, penting kita
perhatikan pesan Sayyidina Umar bin
Khotthob berikut ini, “Jauhilah oleh
kalian sifat rakus dalam makanan dan
minuman, karena itu membawa
kerusakan bagi tubuh, menyebabkan
kegagalan, dan membuat malas dari
melakukan sholat. Hendaklah kalian
sederhana di dalam keduanya
(makanan dan minuman), karena itu
yang lebih baik bagi tubuh dan lebih
menjauhkan dari pemborosan. Dan
sesungguhnya Allah benci kepada
seorang alim yang gemuk.”
Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam
ath-Thib an-Nabawi yang dikutip
dalam kitab Kasyf al-Khafa.”
Adab terhadap Guru
Di dalam sebuah riwayat terdapat
ungkapan berikut, “Pelajarilah ilmu
dan pelajarilah untuk kepentingan
ilmu itu, ketenangan dan
kewibawaan, dan bertawadhu’lah
kepada orang yang engkau belajar
darinya.” Imam An-Nawawi
mengatakan, “Semestinya seorang
murid itu bersikap tawadhu’ kepada
gurunya dan beradab terhadapnya
sekalipun ia (gurunya) lebih muda
usianya, lebih sedikit terkenalnya,
lebih rendah nasabnya, dan lebih
sedikit kebaikannya. Dengan sikap
tawadhu’nya ia akan memahami
ilmu.”
Pengertian tersebut juga tergambar
dalam sebuah syair, yang artinya:
Ilmu itu memusuhi
pemuda yang tinggi hati
Sebagaimana banjir memusuhi
tempat yang tinggi
Seberapa banyak ilmu yang akan
didapat seseorang dari gurunya
diantaranya tergantung sejauh mana
adabnya terhadap sang guru. Tokoh
ulama Hadhramaut, Imam Ali bin
Hasan Al-Attas, mengatakan,
“Sesungguhnya yang diperoleh dari
ilmu, pemahaman, dan cahaya, yakni
terungkapnya hijab, adalah menurut
ukuran adab terhadap guru.
Sebagaimana ukurannya yang ada
pada dirimu, demikian pula ukuran itu
disisi Allah tanpa diragukan lagi.”
Ia juga mencontohkan bagaimana
dimasa lalu anak anak, meskipun
anak khalifah atau raja, dididik untuk
menghormati dan melayani gurunya.
“Al-Amin dan Al-Ma’mun, dua orang
putra Harun Ar-Rasyid, saling
berlomba untuk meraih sandal guru
mereka, Al-Kisa’i, agar dapat
memakaikan sandal itu kepada
gurunya.
Maka berkatalah guru mereka kepada
mereka pada saat itu, ‘Masing
masing memegang satu’.
Ya, guru memang harus dilayani dan
dihormati, karena ia bagaikan
orangtua kita. Di dalam hadits
dikatakan, “Ayahmu itu ada tiga: Ayah
yang melahirkanmu (melalui ibumu),
ayah yang menikahkanmu dengan
putrinya (mertua), dan ayah yang
mengajarimu, dan dialah yang paling
utama.” Demikian keterangan dari
kitab al-‘Athiyyah al-Haniyyah.
Mengenai hal itu, ada orang yang
mengatakan, “Aku dahulukan guruku
dibandingkan bakti kepada ayahku.
Sekalipun aku mendapatkan kebaikan
dan kasih sayang dari ayahku. Yang
ini adalah pendidik jiwaku, dan jiwa
itu adalah permata. Dan yang itu
pendidik tubuhku dan ia bagaikan
kerang baginya”.
Al-Imam Sya’rani mengatakan, “Telah
sampai kepada kami ucapan dari
Syaikh Bahauddin as-Subki, ‘Ketika
aku sedang menaiki kendaraan
bersama ayahku, yakni Syaikhul Islam
Taqiyyuddin as-Subki, di suatu jalan
di negeri Syam, tiba tiba ia
mendengar seseorang dari kaum
petani Syam mengatakan: Aku pernah
bertanya kepada Al-Faqih Muhyiddin
An-Nawawi tentang masalah ini dan
itu.
Maka turunlah ayahku dari kudanya
dan mengatakan: Demi Allah, aku
tidak akan mengendarai tunggangan
sedangkan mata melihat Muhyiddin
berjalan!
Kemudian ia memintanya untuk
mengendarai kuda, sedangkan beliau
sendiri berjalan sampai memasuki
negeri Syam’.”
Kemudian Asy-Sya’rani mengatakan,
“Begitulah, wahai saudaraku, para
ulama berlaku terhadap guru guru
mereka meskipun ia tidak
menjumpainya karena datang
beberapa tahun setelah
kematiannya.”
Betapa besarnya penghormatan dan
kecintaan para tokoh ulama dahulu
terhadap para gurunya dapat kita
simak dari ucapan Abu Hanifah
berikut ini, “Sejak Hammad (yakni
gurunya) wafat, aku tidak pernah
melakukan sholat melainkan aku
mintakan ampunan untuk nya beserta
kedua orang tuaku, dan
sesungguhnya aku selalu
memohonkan ampunan untuk orang
yang aku belajar darinya suatu ilmu
atau orang yang aku ajari ilmu,”
Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, juga
sangat mencintai gurunya itu,
“Sesungguhnya aku mendoakan Abu
Hanifah sebelum mendoakan ayahku,
dan aku pernah mendengar Abu
Hanifah mengatakan, ‘Sesungguhnya
aku mendoakan Hammad bersama
kedua orang tuaku’.” Demikian
disebutkan dalam kitab Tahdzib al-
Asma’, karya Imam Nawawi.
Apa yang dikatakan oleh Imam Asy-
Syafi’i berikut ini mungkin akan
membuat kita tercengang, “Aku
senantiasa membuka kertas kitab di
hadapan Malik dengan lembut agar ia
tidak mendengarnya, karena hormat
kepada beliau.” Bahkan Ar-Rabi’,
sahabat asy-Syafi’i sekaligus
muridnya, mengatakan, “Aku tidak
berani minum air sedangkan Asy-
Syafi’i melihatku, karena
menghormatinya.”
Banyak lagi kisah yang mungkin akan
membuat kita terheran heran dengan
penghormatan mereka kepada para
gurunya. Al-Imam Asy-Sya’rani
mengatakan, “Telah sampai
keterangan kepada kami mengenai
Imam An-Nawawi bahwa suatu hari
ia dipanggil oleh gurunya, Al-Kamal
Al-Irbili, untuk makan bersamanya.
Maka ia mengatakan, “Wahai Tuanku,
maafkan aku. Aku tidak dapat
memenuhinya, karena aku
mempunyai uzur syar’i. Dan ia pun
meninggalkannya.
Kemudian seorang kawannya
bertanya kepadanya, ‘Uzur apa itu?’
Ia menjawab, ‘Aku takut bila guruku
lebih dahulu memandang suatu
suapan tetapi aku yang memakannya
sedangkan aku tidak menyadarinya.’
Apabila ia keluar untuk belajar
dengan membaca kitab kepada
gurunya, ia lebih dahulu bersedekah
di jalan yang ia lakukan dengan niat
untuk gurunya dan mengucapkan
doa, “Ya Allah, tutupilah dariku aib
guruku agar mataku tidak melihat
kekurangannya dan agar tidak ada
seorang pun yang menyampaikan
kepadaku.” Perhatikanlah, sebegitu
jauhnya perhatian dan kecintaan
mereka kepada guru.
Diriwayatkan, Amirul Mu’minin, Ali
bin Abi Thalib pernah mengatakan,
“Diantara hak gurumu terhadapmu
adalah engkau mengucapkan salam
kepada orang secara umum dan
mengucapkannya secara khusus
kepadanya, engkau duduk
didepannya, jangan menunjuk
dengan tanganmu disisinya, dan
jangan memberi isyarat dengan
matamu, jangan pula engkau
mengatakan, ‘Fulan mengatakan yang
berbeda dengan yang Tuan katakan’,
jangan mengghibah seseorang di
hadapannya, jangan bermusyawarah
dengan temanmu di majelisnya,
jangan memegang bajunya apabila ia
bangun, jangan mendesaknya apabila
ia tampak sedang malas, dan jangan
pula berpaling darinya.” Demikian
disebutkan oleh Imam An-Nawawi
dalam kitabnya, At-Tibyan fi Adabi
Hamalah al-Qur’an.
Abu bakar bin Ayyasy mengatakan,
“Ketika saudara Sufyan ats-Tsauri
wafat, orang orang berkumpul
menemuinya untuk berta’ziyah, lalu
datanglah Abu Hanifah. Maka
bangkitlah Sufyan kearahnya,
memeluknya, mendudukkan di
tempatnya, dan ia duduk
dihadapannya.
Ketika orang orang telah bubar, para
sahabat Sufyan mengatakan, ‘Kami
melihatmu melakukan sesuatu yang
mengherankan.’
Sufyan menjawab, ‘Orang ini adalah
orang yang memiliki kedudukan
dalam ilmu. Seandainya aku tidak
bangun karena ilmunya, aku tetap
akan bangun karena usianya.
Sendainya aku tidak bangun karena
usianya, aku tetap akan bangun
karena kefaqihannya. Dan seandainya
aku tidak bangun karena
kefaqihannya, aku akan tetap bangun
karena sifat wara’nya.”
Habib Ahmad bin Umar al-Hinduan
mengatakan, “Yang membuat orang
orang tidak mendapatkan ilmu
hanyalah karena sedikinya
penghormatan mereka terhadap
orang orang yang berilmu,”
Dua belas Syarat
Syaikh Zakariya dalam kitabnya, al-
Lu’lu’ an-Nazhim fi Rawum at-
Ta’allum wa at-Ta’lim, mengatakan,
“Syarat syarat mempelajari ilmu dan
mengajarkannya ada dua belas (12) :
Pertama , mempelajarinya dengan
maksud sebagaimana ilmu itu dibuat.
Kedua , mencari ilmu yang dapat
diterima oleh tabi’atnya, karena tidak
setiap orang layak untuk mempelajari
berbagai ilmu, dan tidak semua yang
layak mempelajarinya, layak untuk
semuanya, melainkan setiap orang
hanya dimudahkan untuk sesuatu
yang ia diciptakan (ditakdirkan) untuk
itu.
Ketiga , mengetahui tujuan ilmu itu
agar yakin dengan perkaranya.
Keempat , menguasai ilmu itu dari
awal sampai akhir.
Kelima , mencari kitab kitab yang baik
yang mencakup semua disiplin.
Keenam , membaca kepada seorang
guru yang dapat memberikan
bimbingan dan seorang terpercaya
yang dapat memberikan nasihat, dan
tidak berkeras kepala dengan dirinya
dan kecerdasannya.
Ketujuh , bermuzakarah dengan teman
temannya untuk mencari pertahqiqan,
bukan untuk mencari kemenangan,
melainkan untuk menolong
memberikan manfaat dan mengambil
manfaat.
Kedelapan , apabila telah mengetahui
ilmu itu, jangan menyia nyiakannya
dengan mengabaikannya, dan jangan
pula mencegahnya dari orang yang
patut mendapatkannya, berdasarkan
hadits, “Barang siapa mengetahui
suatu ilmu yang bermanfaat lalu ia
menyembunyikannya, niscaya Allah
pada hari Kiyamat memasangkan
kendali pada dirinya denga kendali
dari neraka.” Tapi jangan pula
memberikannya kepada orang yang
tak layak menerimanya, sebagaimana
yang terdapat dalam perkataan para
nabi, “Janganlah kalian ikatkan
permata pada leher babi.” Artinya,
janganlah kalian berikan ilmu kepada
orang yang tak layak menerimanya.
Dan hendaknya mencatat apa yang
dapat disimpulkan.
Kesembilan , jangan meyakini dalam
suatu ilmu bahwa telah mendapatkan
darinya dalam ukuran yang tidak
dapat bertambah lagi, karena itu
suatu kekurangan.
Kesepuluh , mengetahui bahwa setiap
ilmu itu ada batasnya, maka
janganlah melampauinya dan jangan
pula kurang darinya.
Kesebelas , janganlah memasukkan
suatu ilmu pada ilmu yang lain, baik
dalam belajar maupun dalam diskusi,
karena hal itu dapat membingungkan
pemikiran.
Kedua belas , setiap murid dan guru
hendaknya memperhatikan hak yang
lainnya, terutama pihak pertama
(murid), karena gurunya bagaikan
ayahnya bahkan lebih agung, karena
ayahnya telah mengeluarkan dia ke
negeri fana (dunia) sedangkan
gurunya menunjukkannya ke negeri
yang kekal. Demikian dikutip dari
kitab Mathlab al-Iqazh fi Ghurar al-
Alfazh, karya al-Allamah ‘Abdullah
bin Husain Bilfaqih.
Yang Wajib dan Tak Wajib
Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengatakan,
“Aku mendengar Asy-Syafi’i
mengatakan, ‘Penuntut ilmu butuh
tiga perkara: Usia yang panjang,
harta dan kecerdasan.’” Hal itu juga
ia katakan dalam sebuah syair:
saudaraku…
kau tak akan mendapat ilmu
kecuali dengan enam perkara
Aku akan memberitahukan engkau
dengan penjelasan yang terperinci
Kecerdasan, kemauan, kesungguhan,
biaya
juga petunjuk guru dan masa yang
lama
Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi
mengatakan, “Bagi orang yang ingin
mendapatkan manfaat dengan ilmu
untuk dirinya saja tanpa
memperhatikan apakah ilmu itu
bermanfaat untuk orang lain atau
tidak, hendaklah ia mengutamakan
ilmu yang lebih berpengaruh
terhadap hatinya dan lebih dapat
melembutkannya. Dan hendaklah ia
mengikatnya dengan menulis,
mengulang ulangi dan semacamnya,
yang dapat membuatnya bertambah
kukuh. Karena, hal itu lebih
bermanfaat bagi dirinya dibandingkan
banyak ilmu yang tidak membuatnya
mendapatkan pengaruh, kelembutan,
dan kekhusyu’an. Demikian pula
dalam semua perbuatan, keadaan,
dan sebagainya, hendaklah
seseorang mencari yang paling layak
untuknya meskipun tidak layak dan
tidak sesuai bagi orang lain. Ini bagi
orang yang menginginkan
mendapatkan manfaat untuk dirinya
saja.
Adapun orang yang menginginkan
dapat memberikan manfaat kepada
orang lain dengan ilmunya,
hendaklah ia menjadi seperti seorang
dokter yang memperhatikan penyakit,
sebab sebabnya, materinya, dan
memberikan kepada orang yang sakit
itu obat yang sesuai dengan
penyakitnya. Mungkin saja ada orang
yang datang kepadanya yang
memiliki penyakit yang sama, lalu ia
memberikannya obat yang lain, tidak
seperti obat yang diberikannya
kepada orang yang sebelumnya
(meskipun penyakitnya sama), karena
ia tahu bahwa sebab yang
menyebabkan penyakitnya berbeda
dengan sebab yang menyebabkan
penyakit orang lain.
Demikian pula dengan ilmu ilmu, ia
berikan kepada setiap orang yang
patut menerimanya dan tidak
mengukur orang dengan ukuran yang
sesuai bagi dirinya. Ini juga berlaku
pada orang yang ingin membuat
karangan dan semacamnya.”
Demikian dikutip oleh Al-Imam
Muhammad bin Zain bin Semith
dalam kitab Qurrah al-‘Ain wa Jila’
ar-Rayn.
Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-
Haddad mengatakan, “Hendaklah
seseorang menguasai suatu disiplin
ilmu sampai ia dinisbahkan dengan
ilmu itu dan dikenal dengannya.”
Sayyidina Ali mengatakan, “Barang
siapa banyak dalam sesuatu, ia akan
dikenal dengannya.” Dan hendaklah
ia mengambil sekadarnya dalam
setiap ilmu yang lainnya dan
menguasainya secara global,
sehingga, apabila ditanya tentang
sesuatu, ia memiliki pengetahuan
tentang itu dan tidak jahil (bodoh).
Karena itu, Imam As-Suyuti
mengarang kitab An-Nuqayah (kitab
yang mengulas intisari empat belas
ilmu) dan mensyarahkannya. Dan
apabila menghafal (menguasai
sesuatu ilmu), ia menguasai semua
ilmu yang berhubungan dengannya.
“Jika engkau memiliki ilmu tersebut
sekadarnya, dalam ilmu ilmu yang
berkaitan dengannya juga cukup
menguasai sekadarnya, dan lebih
baik bagimu menguasai sepuluh
masalah dengan sebaik baiknya
daripada membaca sebuah kitab
dengan sempurna tetapi tidak
menguasainya.” Demikian yang
dikatakan Imam Abdullah Al-Haddad.
Ia juga mengatakan, “Ilmu ushul itu
ada dua. Pertama , ilmu ushuluddin,
seperti masalah masalah aqidah.
Seseorang harus mengabil ilmu ini
sesuai dengan kebutuhannya, seperti
aqidah yang dijelaskan oleh Imam
al-Ghazali. Kedua , ilmu ushul fiqih.
Ilmu ini sulit dan tidak mudah
dipahami, ia tidak wajib bagi setiap
orang. Maka semestinya seseorang
mengambil dari kedua ilmu ushul tadi
sesuai dengan kebutuhannya yang
mendesak. Kemudian ia mengambil
kitab kitab yang dapat melembutkan
hatinya, menggemarkannya kepada
akhirat, dan membuatnya zuhud di
dunia.
Kemudian ia beibadah dan
bersungguh sungguh dalam
melakukannya, dan banyak membaca
al-Quran dengan kesungguhan.
Apabila tidak memungkinkannya
melakukan itu di sebagian waktu,
hendaklah banyak berzikir dan
melazimkannya dalam setiap
keadaannya, karena umur itu singkat
dan orang yang menganggur menyia
nyiakan sebagian besarnya. Dan
hendaklah puncak perhatian dan
muthala’ahnya adalah pada masalah
masalah yang penting dari hal hal
tersebut tadi. Jadi, ia melakukan
muthala’ah hal hal yang penting dan
menghafal hal hal yang penting. Jika
ia ingin melakukan muthala’ah
mengenai yang lain, ia dapat
melakukan nya kadang kadang saja.”
Demikian dikutip dari kitab Tatsbit al-
Fuad.
Al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi
mengatakan, “Hendaknya seorang
penuntut jalan akhirat senantiasa
mencari cari manfaat dimanapun
berada, baik kepada orang yang ahli
maupun bukan ahli, mau mengambil
dari setiap orang bagaimana pun ia,
baik ia orang alim maupun orang
awam. Karena, terkadang akhlaq
yang bagus ia dapati pada sebagian
orang awam dan tidak ia dapati pada
yang lainnya dan juga tidak pada
dirinya. Diantara keadaan seorang
yang benar adalah mengambil dari
teman bergaulnya segala yang baik
yang ia lihat terdapat padanya baik,
ucapan maupun perbuatan, dan
meninggalkan apa yang buruk
darinya. Apabila ia mengambil
manfaat yang ia dapatkan padanya,
janganlah ia mengambil kerusakan
dan penyimpangan yang ada pada
orang itu.” Demikian dari kitab
Qurrah al-‘Ain.
Ia juga mengatakan, “Pemahaman itu
bagi yang memilikinya merupakan
nikmat yang sangat besar, tetapi
mereka terkadang tidak
merasakannya sebagai nikmat,
karena mereka memandang hal itu
bisa diperoleh dari membaca kitab,
misalnya. Dan orang yang melakukan
muthala’ah kitab kitab hendaknya
memohon pertolongan kepada Allah
agar memudahkan pemahaman
baginya dan dapat
membayangkannya sehingga ia dapat
memperoleh apa yang dituntut dan
Allah membukakan baginya
pemahaman dalam agama.” Demikian
keterangan dari kitab Qurrah al-‘Ain.
Al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Attas
mengatakan, “Ada dua perkara yang
baik untuk diperhatikan oleh seorang
penuntut ilmu: Pertama, ia tidak
masuk pada sesuatu dari ilmu ilmu
dan amal amalnya melainkan dengan
niat yang baik. Kedua, ia
memperhatikan buah dari hasilnya.
Apabila tidak memperhatikan ini, ia
tidak mendapatkan manfaat.”
Ia juga mengatakan, “Apabila seorang
penuntut ilmu membaca suatu kaidah
dan ia ingin menghafalnya tetapi
tidak ada padanya tinta dan tidak ada
pula pena, hendaklah ia menulisnya
dengan jarinya pada tangannya atau
pada lengannya.”
Diriwayatkan, suatu ketika Imam
Syafi’i sempai di Madinah dan duduk
di halaqah Imam Malik. Ketika itu
Imam Malik sedang mendiktekan
kitab Al-Muwathta’ kepada orang
orang yang ada disana. Imam Malik
mendiktekan 18 hadits sedangkan
Imam Syafi’i berada dibarisan
belakang. Imam Malik menatapnya
dengan pandangannya ketika Imam
Syafi’i menulis dengan jarinya pada
punggung tangannya.
Ketika jama’ah majelis telah bubar,
Imam Malik memanggilnya dengan
bertanya kepadanya tentang
negerinya dan nasabnya.
Maka Imam Syafi’i pun
memberitahukannya.
Lalu Imam Malik berkata kepadanya,
“Aku melihatmu memain mainkan
tanganmu di punggung telapak
tanganmu.”
Imam Syafi’i menjawab, “Tidak,
melainkan apabila Tuan mendiktekan
sebuah hadits, saya menulisnya
diatas punggung tangan saya. Jika
tuan mau, saya akan ulangi apa yang
tuan diktekan kepada kami.”
Imam Malik berkata, “Bacakanlah.”
Maka Imam Syafi’i pun mendiktekan
18 hadits yang semula didiktekan
oleh imam Malik.
Melihat itu, Imam Malik pun
mendekatkannya kepada dirinya.
***
Wallahu a’lam
Sumber majalah alKisah Agustus
2010

Senin, 27 Januari 2014

Duhai Indahnya Mencintai Rasulullah saw Tak Akan Bertepuk Sebelah Tangan

ABDULLAH bercerita, “Kami
mempunyai pembantu yang
mengabdi kepada raja. Orang itu
dikenal suka berbuat kerusakan.
Suatu malam, saya bermimpi
melihatnya sedang bergandengan
tangan dengan Nabi saw. Lalu saya
berkata, ‘Wahai Nabi Allâh, lelaki itu
orang fasik. Bagaimana Baginda sudi
bergandengan tangan dengannya?’
Maka, Rasulullah saw bersabda, ‘Aku
telah mengetahuinya, namun dosa-
dosanya telah berlalu, dan aku telah
memberinya syafaat.’
Saya bertanya, ‘Wahai Nabi Allâh,
dengan perantara apa orang itu
sampai pada derajat itu?’ Beliau
menjawab, ‘Dengan memperbanyak
sholawat kepadaku. Sesungguhnya
setiap malam menjelang tidur orang
itu bersholawat kepadaku sebanyak
1.000 kali’.
Abdullah berkata, ‘Di pagi harinya,
tiba tiba saya menjumpai lelaki itu
sedang menangis. Setelah masuk
dan duduk dihadapanku, ia berkata,
‘Wahai Abdullah, rentangkan
tanganmu, karena Nabi saw telah
menyuruhku agar aku bertobat sambil
memegang tanganmu. Beliau juga
telah menceritakan kepadaku dialog
antara dirimu dan beliau mengenai
keadaanku tadi malam’. Setelah ia
bertobat, aku menanyakan ihwal
mimpinya. Orang itu menjawab, ‘Nabi
saw mwndatangiku, lalu
menggenggam tanganku. Beliau
bersabda, ‘Bangunlah, aku akan
memintakan syafa’at untukmu kepada
Tuhanku, karena bacaan sholawatmu
kepadaku.’ Lebih lanjut orang itu
berkisah, ‘Maka, saya pun berdiri
bersama Nabi saw dan beliau
memberikan syafaat kepadaku. Lalu
beliau berpesan kepadaku, ‘Jika pagi
hari tiba, maka datangilah Abdullah
dan bertobatlah diatas tangannya,
serta konsistenlah dengan
pertobatanmu.”
Demikianlah. Mencintai Rasul saw
tak akan bertepuk sebelah tangan.
Beliau bersabda, “Perbanyaklah
bersholawat kepadaku, sebab
sholawat kalian dapat menghapus
dosa dosamu, meninggikan
derajatmu dan menjadi syafaat
bagimu di hadapan Tuhanku.”
Kepada umatnya yang dicintainya,
kepada kita semua, beliau berpesan
untuk bersholawat kepadanya. Bukan
karena beliau mementingkan diri
sendiri. Tanpa doa dari siapa pun,
kedudukannya di sisi Allâh tak kan
tertandingi oleh makhluk mana pun.
Pesannya untuk bersholawat
kepadanya lahir karena kecintaannya
kepada kita.
Duhai, betapa mulianya engkau, yâ
Rasulullah. Engkau meminta kami
berdoa untukmu, padahal apa artinya
doa kami, sholawat kami, dihadapan
kebesaranmu? Engkau pesankan kami
bersholawat bagimu demi
kebahagiaan kami juga. Bukankah
kami hanya bisa dekat kepada Tuhan
melalui cinta padamu? Bukankah
kami hanya bisa naik ke tempat yang
tinggi bergantung pada kerinduan
atasmu? Allâhumma sholli ‘alâ
Muhammad wa ‘alâ Âlihî wa sallim..
***
Sumber: Afdhal ash-Shalawat ‘alâ
Sayyid as-Sâdât, karya Syeikh Yusuf
ibn Isma’il al-Nabhani .
Ket: *) kemungkinan besar rawi ini
adalah Abu Abdullah, seorang sufi
terkenal

Sabtu, 25 Januari 2014

TAUSIYAH GURU MULIA ALHABIB UMAR BIN HAFIDZ di Monas

"Sesungguhnya akhir hayat kita Semua
tergantung apa yang ada didalam hati
kita dan apa yang dilakukan oleh
anggota tubuh kita. Kita sudah sering
dikumpulkan bersama Habibana
Munzir Almusawa sebelum beliau
wafat.
Ingatlah bahwa beliau tidaklah
meninggal tapi hanya jasad beliau
yang wafat sesuai janji Allah kepada
Orang-orang yang sholeh.
Ingatlah bahwa orang-orang yang
berjaya karena dunia mereka akan
menyesal akhirat karena telah menyia-
nyiakan majelis-majelis mulia seperti
malam ini, Allah senantiasa menatap
apa yang tersembunyi didalam hati
dan pikiran kita.
Sungguh nafsu dan syaitan lebih
pantas untuk dilanggar daripada
melanggar perintah Allah, semoga kita
diwafatkan dalam keadaan taat kepada
Allah, maka bersungguh-sungguhlah
dalam munajat kepada Allah,
bersihkanlah hati dan pikiranmu agar
terhindar dari bujukan musuh-musuh
Allah.
Disaat kita mencintai ketaatan dan
membenci kemaksiatan maka segala
rencana orang-orang yg akan
menghancurkan Islam akan musnah
dengan sendirinya.
Janganlah kita berdoa hanya untuk
diri kita sendiri saja, maka perluaslah
kepada saudara-saudara kita karena
hal itu disukai Allah SWT. Keberkahan
majelis ini akan membuka pintu
Hidayah Allah kepada orang-orang
yang nantinya akan masuk Islam
karena majelis ini. Hanyalah Allah
yang mampu membuat apa yang tidak
mungkin menjadi mungkin.
Ketahuilah Laa ilaha illallah adalah
ucapan paling afdhal yang pernah
diucapkan oleh Nabi-nabi sebelum
Rosulullah, perbaharui iman kalian
dengan selalu membaca kalimat Laa
ilaha illallah. Ucapkan dengan penuh
rasa khusyu', tawaddhu' dan
pengharapan. Ini adalah cara dzikir
para salaf terdahulu. ajarkan ini pada
keluarga, sahabat dan orang disekitar
kita agar diangkat segala adzab dan
kesulitan kita serta derajat kita
diangkat oleh Allah SWT.
ﺁﻣﻴﻦ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺗﻘﺒﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﻣﻨﻚ ﺍﻻﺟﺎﺑﺔ

TAUSIYAH GURU MULIA ALHABIB UMAR BIN HAFIDZ di Monas

"Sesungguhnya akhir hayat kita Semua
tergantung apa yang ada didalam hati
kita dan apa yang dilakukan oleh
anggota tubuh kita. Kita sudah sering
dikumpulkan bersama Habibana
Munzir Almusawa sebelum beliau
wafat.
Ingatlah bahwa beliau tidaklah
meninggal tapi hanya jasad beliau
yang wafat sesuai janji Allah kepada
Orang-orang yang sholeh.
Ingatlah bahwa orang-orang yang
berjaya karena dunia mereka akan
menyesal akhirat karena telah menyia-
nyiakan majelis-majelis mulia seperti
malam ini, Allah senantiasa menatap
apa yang tersembunyi didalam hati
dan pikiran kita.
Sungguh nafsu dan syaitan lebih
pantas untuk dilanggar daripada
melanggar perintah Allah, semoga kita
diwafatkan dalam keadaan taat kepada
Allah, maka bersungguh-sungguhlah
dalam munajat kepada Allah,
bersihkanlah hati dan pikiranmu agar
terhindar dari bujukan musuh-musuh
Allah.
Disaat kita mencintai ketaatan dan
membenci kemaksiatan maka segala
rencana orang-orang yg akan
menghancurkan Islam akan musnah
dengan sendirinya.
Janganlah kita berdoa hanya untuk
diri kita sendiri saja, maka perluaslah
kepada saudara-saudara kita karena
hal itu disukai Allah SWT. Keberkahan
majelis ini akan membuka pintu
Hidayah Allah kepada orang-orang
yang nantinya akan masuk Islam
karena majelis ini. Hanyalah Allah
yang mampu membuat apa yang tidak
mungkin menjadi mungkin.
Ketahuilah Laa ilaha illallah adalah
ucapan paling afdhal yang pernah
diucapkan oleh Nabi-nabi sebelum
Rosulullah, perbaharui iman kalian
dengan selalu membaca kalimat Laa
ilaha illallah. Ucapkan dengan penuh
rasa khusyu', tawaddhu' dan
pengharapan. Ini adalah cara dzikir
para salaf terdahulu. ajarkan ini pada
keluarga, sahabat dan orang disekitar
kita agar diangkat segala adzab dan
kesulitan kita serta derajat kita
diangkat oleh Allah SWT.
ﺁﻣﻴﻦ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺗﻘﺒﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﻣﻨﻚ ﺍﻻﺟﺎﺑﺔ

Jumat, 24 Januari 2014

Tabarukan Peduli Banjir

Peduli banjir Januari 2014

Makna Sabar

Dari Suaib ra, Rasulullah SAW
bersabda "Sungguh menakjubkan
perkaranya orang beriman,karena
segala urusannya adalah baik
baginya dan hal tersebut tidak akan
terdapat kecuali pada orang mu'min,
yaitu jika ia mendapatkan
kebahagiaan ia bersyukur, karena
(ia mengetahui bahwa hal tersebut
merupakan yang terbaik untuknya
dan jika ia tertimpa musibah ia
bersabar, karena (ia mengetahui)
bahwa hal tersebut merupakan hal
yang terbaik bagi dirinya (HR.
MUSLIM)
Makna Sabar
Sabar merupakan istilah yang
berasal dari bahasa arab dan sudah
menjadi istilah dalam bahasa
indonesia. Asal katanya adalah
"shobaro" yang berbentuk infinitif
(isim masdar) yang menjadi
"shobron". Dari segi bahasa sabar
berarti menahan atau mencegah,
yang menguatkan makna seperti ini
adalah Firman Allah dalam Al
Qur'an : "Dan bersabarlah kamu
bersama-sama dengan orang-orang
yang menyeru Tuhannya di pagi
dan senja hari dengan mengharap
keridhoanNya, dan janganlah kedua
matamu berpaling dari mereka
(karena) mengharapkan perhiasan
kehidupan dunia ini, dan janganlah
kamu mengikuti orang yang hatinya
telah Kami lalaikan dari mengingat
Kami serta menuruti hawa nafsunya
dan adalah keadaannya itu melewati
batas" (QS Al Kahfi / 18 : 28)
Perintah untuk bersabar pada ayat
diatas adalah menahan diri dari
keinginan "keluar" dari orang orang
yang menyeru Rabnya serta selalu
mengharapkan keridhoanNya.
perintah bersabar diatas skaligus
juga sebagai pencegahan dari
keinginan manusia yang ingin
bersama dengan orang orang yang
lalai dari mengingat Allah SWT.
Sedangkan dari istilahnya sabar
adalah menahan diri dari sifat
kegundahan dan rasa emosi,
kemudian menahan lisan dari kelu
kesah serta menahan anggota
tubuh dari perbuatan yang tidak
terarah.
Amr bin Utsman mengatakan bahwa
sabar adalah keteguhan bersama
Allah, menerima ujian dariNya
dengan lapang dan tenang. Hal
senada juga dikemukakan oleh
Imam Al Khowas bahwa sabar
adalah refleksi keteguhan untuk
merealisasikan Al Qur'an dan
Sunnah, sehingga sesungguhnya
sabar tidak identik dengan
kepasrahan dan ketidak mampuan,
justru orang seperti ini memiliki
indikasi adanya ketidak sabaran
untuk berusaha, ketidak sabaran
untuk berjuang dan lain sebagainya.
Rasulullah SAW memerintahkan
kepada umatnya untuk bersabar
dalam berjihad, padahal jihad
adalah memerangi musuh-musuh
Allah, klimaksnya adalah
penggunaan senjata (perang).
Artinya untuk berbuat seperti itu
butuh kesabaran untuk
mengenyampingkan keinginan
jiwanya yang menginginkan rasa
santai, bermalas malasan dan lain
sebagainya. Sabar dalam jihad jg
berarti keteguhan untuk
menghadapi musuh, serta tidak lari
dari medan peperangan. Orang
yang lari dari medan peperangan
adalah indikasi dari ketidak
sabaran..
Wallahu a'lam bisshowaff..

Nasihat Nasihat Sohih

Sumber : Habib Muhammad Albagir
bin Yahya
Berkata Imam Abdur Rahman
Assegaff
• Setiap Ilmu yang tidak di amalkan
merupakan kebathilan
• Setiap Ilmu yang di amalkan tanpa
di iringi dengan niat adalah sia sia
• Setiap Ilmu yang di amalkan dan
di iringi dengan niat tetapi tidak
mengikuti sunnah maka itu tertolak
• Setiap Ilmu, amalan, niat dan
ibadah sunnah yang tidak di sertai
dengan sikap wara' merupakan
kerugian kelak saat pemiliknya
ditimbang, dikhawatirkan ilmunya
hilang tidak berarti sedikitpun
Imam Syafi'i berkata : barang siapa
yang dikuasai oleh kuatnya
keinginan untuk meraih dunia pasti
ia akan terbelenggu menghamba
kepada ahli dunia dan barang siapa
yang rela dalam kesederhanaan
hilanglah darinya ketundukan pada
ahli dunia.
Dari Abu Musa, Rasulullah SAW
bersabda : perumpamaan teman
berbincang yang baik, ibarat
seseorang penjual wewangian
adakalanya engkau diberinya atau
membeli darinya atau beroleh bau
wanginya, dan perumpamaan
sahabat yang jahat ibarat peniup
puputan, adakalanya engkau
terbakar oleh percikan apinya atau
terkena bau busuknya (H.R. Bukhari
& Muslim)
*puputan; alat penghembus api yg
digunakan pandai besi*

Kamis, 23 Januari 2014

MIMPI HABIB MUNDZIR AL-MUSAWA DENGAN RASULULLAH SAW. MEMBAWA KABAR GEMBIRA UNTUK UMAT BAGINDA RASULULLAH SAW.

Sumber : Kumpulan Karomah Syaikh
Abdul Qodir Jailani Ra Saya (Habib
Mundzir) pernah berkata kepada
murid-murid Habib Taufiq Assegaff
di Pasuruan: “Jangan diantara kalian
merasa bahwa di dalam maulid itu
ruhnya Nabi Muhammad Saw. tidak
hadir. Kalau orang merasa ruh Nabi
tidak hadir di dalam maulid, berarti
dia tertutup dari cinta kepada Nabi.”
Lalu malamnya, hamba (Habib
Mundzir) bertemu dengan Rasulullah
Saw. dan berkata seraya menegur
hamba (Habib Mundzir) seperti ini:
“Jangan engkau katakan kepada
tamu-tamuku itu ucapan-ucapan
yang menyakiti perasaan mereka.
Katakan ucapan yang lembut. Jangan
engkau katakan sambil marah-marah
di depan orang-orang yang hadir
maulid, karena itu tamu-tamuku.
Katakanlah pada mereka bahwa
Muhammad mencintai mereka,
katakan Muhammad rindu pada
mereka, katakan Muhammad
menyayangi mereka. Itu ucapan yang
patut kau ucapkan di Maulid Nabi
Muhammad.”
Sejak saat itu saya (Habib Munzir)
selalu mengarah kepada jalan
kelembutan di dalam menyampaikan
tausiyah. Tidak berani lagi untuk
menyampaikan kalimat-kalimat yang
tajam kepada hadirin-hadirat, karena
ditegur oleh Rasulullah Saw., beliau
tidak menyukai itu.
Rasul ingin orang-orang yang hadir
di majelis maulid atau sholawat atau
majelis ta’lim dikabarkan bahwa
Muhammad mencintai mereka.

JIWA YANG AGUNG DI SISI ALLAH

SULTHANUL QULUB HABIBANA
MUNZIR BIN FUAD ALMUSAWA
ALLAHYARHAM berkata:
Rasulullah shallallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda,
"Bahwa salah satu kelompok yang
dinaungi oleh Allah SWT di saat tidak
ada naungan kecuali naungan Allah
adalah orang yang ketika mengingat
Allah mengalirlah air matanya.
Orang yang ketika mengingat dan
menyebut nama Allah merasa risau
Allah akan menjauhinya.Merasa risau
Allah akan memutus cintanya.
Merasa risau Allah akan kecewa
kepadanya. Merasa risau jika Allah
tidak ingin dekat dengannya, risau
tidak dicintai Allah,
Ia selalu berharap diampuni oleh
Allah, berharap dicintai oleh Allah,
berharap dipermudah oleh Allah,
Berharap diperindah oleh Allah,
berharap dipersuci oleh Allah,
diperluhur oleh Allah, dimuliakan
oleh Allah, selalu penuh harapan dan
kerisauan,
Harapan untuk selalu dekat dengan
Allah dan risau akan jauh dari Allah,
harapan untuk
dicintai dan diridhai oleh Allah dan
risau akan dimurkai-Nya.
Jiwa yang seperti inlah yang
merupakan jiwa yang agung di sisi
Allah, dimuliakan oleh Allah.

SURAT IMAM AL-GHAZALI UNTUK MURIDNYA

Wahai anakku! Janganlah engkau
hidup dengan kemiskinan amal dan
kehilangan kemauan kerja. Yakinlah
bahwa ilmu tanpa amal semata-mata
tidak akan menyelamatkan orang.
Jika di suatu medan pertempuran
ada seorang yang gagah berani
dengan persenjataan lengkap di
hadapkan dengan seekor singa yang
galak, dapatkah senjatanya
melindungi dari bahaya, jika tidak
diangkat, dipukulkan dan ditikamkan?
Tentu saja tidak akan menolong,
kecuali diangkat, dipukulkan dan
ditikamkan. Demikian pula jika
seseorang membaca dan
mempelajari seratus ribu masalah
ilmiah, jika tidak diamalkan maka
tidaklah akan mendatangkan faidah
apa pun.
Wahai anakku! Berapa malam engkau
beterjaga untuk mengulang-ulang
ilmu, membaca buku, dan engkau
haramkan tidur atas dirimu? Aku tak
tahu, apa yang menjadi
pendorongmu. Jika yang menjadi
pendorongmu adalah kehendak
mencari materi dan kesenangan
dunia atau mengejar kedudukan atau
mencari kelebihan atas kawan
semata, maka malanglah engkau!
Namun jika yang mendorongmu
adalah keinginan untuk
menghidupkan syariat Rasulallah
SAW dan menyucikan budi pekertimu,
serta menundukkan nafsu yang tiada
henti mengajak kepada kejahatan,
maka beruntunglah engkau.Maka
benar apa kata seorang penyair,
“Biarpun kantuk menyiksa mata.
Akan percuma saja jika tak karena
Allah semata”.
Wahai anakku! Hiduplah seperti apa
maumu, namun ingat!
Sesungguhnya engkau akan mati.
Dan cintailah siapa yang engkau
sukai, namun ingat! Engkau akan
berpisah dengannya.
Dan, berbuatlah seperti yang engkau
kehendaki, namun ingat! Engkau
pasti akan menerima balasannya
nanti.
--Majmu’ah Rasa’il Al-Imam Al-
Ghazali

Doa Habib Umar bin Hafidz

"Tidak ada bersama kami dan
bersama kalian melainkan hanyalah
Allah...
Dialah yang Maha Menjawab sendiri-
Nya...
Dialah yang menganugerahi sendiri-
Nya...
Dialah yang mengurniakan
kebahagiaan sendiri-Nya...
Dialah yang memberikan kejayaan
sendiri-Nya...
Dialah yang memberi kelepasan
daripada api neraka sendiri-Nya...
Dialah yang memberikan Husnul
Khotimah sendiri-Nya...
Dialah yang memberi ketetapan hati
sendiri-Nya...
Dialah yang memberi ketetapan lidah
sendiri-Nya...
Ya Allaah...
Hanya Engkaulah bagi kami...
Sungguh Engkaulah Pemilik kami...
Sungguh Engkaulah Tuhan kami...
Sungguh Engkaulah Pembantu
kami...
Wahai sebaik-baik Pemilik... Wahai
sebaik-baik Pembantu...
Sungguh Engkaulah tujuan kami...
Sungguh Engkaulah Pencipta kami...
Sungguh Engkaulah yang
mewujudkan kami...
Sungguh Engkaulah dalam
genggaman-Mu memerintah kami...
Kami adalah hamba-Mu...
Kami adalah ciptaan-Mu...
Kami adalah orang-orang miskin
pada-Mu...
Kami adalah orang-orang faqir pada-
Mu...
Kami sangat berharap kepada-Mu...
Kasihkanlah kami wahai Yang Maha
Penyayang...
Muliakanlah kami wahai Yang Maha
Mulia...
Hubungkanlah kami dengan kekasih
yang mulia (Nabi Muhammad)...
Tetapkanlah kami di atas titian Sirot
al-Mustaqim...
Wahai Tuhan, kumpulkah kami disini
(dunia) dan kumpullah kami disana
(Akhirat)...
Engkau memberikan tanpa peduli...
Engkau memuliakan tanpa peduli...
Engkau mengasihi tanpa peduli...
Engkau mengampuni tanpa peduli...
Engkau mendekatkan tanpa peduli...
Engkau menyucikan tanpa peduli...
Engkau menerangi tanda peduli...
Kasihilah kami...
Sucikanlah kami...
Terangilah kami...
Dekatkanlah kami...
Ampunilah kami...
Maafkanlah kami apa jua yang
tersirat di dalam hati kami...
Baikkanlah pengakhiran hidup kami...
Himpunkanlah kami bersama Nabi
Muhammad...
di Dunia, di Barzakh dan di Akhirat...
Ya Allaah... katakanlah Ya Allaah...
Kamu menjadi mulia dengan
menyebut Ya Allah...
Berbahagialah dengan menyebut Ya
Allah...
Ya Allaah.. Ya Allaah.. Ya Allaah...
Siapa yang mengajar kita untuk
berkata 'Ya Allah'....
Siapa yang memberi kita kemampuan
untuk berkata 'Ya Allah'....
Siapa yang memuliakan kita untuk
berkata 'Ya Allah'....
Engkaulah Ya Allah... Engkaulah Ya
Allah... Bagi-Mu Segala Kepujian...."

Bagaimana bila selalu telat bangun subuh?

SULTHANULQULUB HABIBANA
MUNZIR BIN FUAD ALMUSAWA
Menjawab:
Selama kita terus berusaha untuk
bangun pada waktunya lalu bangun
terlambat maka Allah swt tidak
mencantumkan dosa bila kita telah
berusaha.
Metode yang paling jitu adalah
memadukan antara metode sunnah
dengan metode ilmiah sebagaimana
berikut.
Sebelum tidur bacalah
SUBHANALLAH 33x, ALHAMDULILLAH
33x, ALLAHU AKBAR 33x, lalu sekali
membaca LAA ILAAHA ILLALLAHU
WAHDAHU LAA SYARIKALAH, LAHUL
MULKUWALAHUL HAMDU,
YUHYIYWAYUMIIT' WAHUWA 'ALA
KULLI SYAYIIN QADIIR.
(Tiada tuhan selain Allah, Maha
Tunggal tanpa bersekutu, Milik-Nya
Kerajaan alam, dan Bagi-Nya Pujian
Mulia, Dia menghidupkan dan
mematikan' dan Dia berkuasa atas
segala sesuatu).
Bacaan ini riwayat Shahih Bukhari
bahwa Rasul saw mengajarkan
putrinya Sayyidah Fathimah Azzahra
ra untuk mengamalkannya sebelum
tidur, maka ia akan bangun dengan
segar tanpa kantuk.
GURU MULIA MENGAJARKANNYA
KEPADA KITA DAN MEMANG
TERBUKTI, ORANG YANG SEBELUM
TIDUR MEMBACANYA MAKA IA AKAN
BANGUN DENGAN TUBUH SEGAR
TANPA MALAS DAN BERAT UNTUK
BANGUN.
Siapkan alarm di sebelah anda lalu
baca zikir tersebut, maka anda pasti
bangun pada waktunya dengan
segar. Sebab bila alarm saja maka
anda bisa saja bangun namun tubuh
masih malas bangun, maka akan
kembali tertidur.
Atau dzikir saja maka anda bangun
segar, namun karena tubuh lelah
maka bangunnya telat walau segar,
maka padukan keduanya.
Usahakan jangan makan malam
kecuali sangat sedikit, Lalu baca
dzikir tersebut sebelum tidur, maka
anda akan bangun sebelum adzan
subuh.

Selasa, 21 Januari 2014

"BERKAT SHALAWAT WAJAH HITAM MENJADI PUTIH BERCAHAYA"

Diceritakan bahwasanya Ulama besar
Sufyan Ats-Tsauri sedang
mengerjakan Thawaf mengelilingi
Ka'bah dan melihat seseorang yang
setiap kali mengangkat kaki dan
menurunkannya senantiasa membaca
shalawat atas nabi.
Sufyan Ats-Tsauri bertanya :
"Sesungguhnya engkau telah
minggalkan bacaan Tasbih
(subhanallah) dan Tahlil (la ilaha
illallah), sedang engkau hanya
melakukan Shalawat atas Nabi.
Apakah ada alasan yang khusus
bagimu untuk mengamalkannya?"
Lalu orang itu menjawab : "Siapakah
engkau? Semoga Allah SWT
mengampunimu."
Sufyan Ats-Tsauri menjawab : "Saya
adalah Sufyan Ats-Tsauri."
Orang itu berkata : "Seandainya kamu
bukanlah orang yang istimewa di
zamanmu ini niscaya saya tidak akan
memberitahukan masalah ini dan
menunjukkan rahasiaku ini."
Kemudian orang itu berkata kepada
Sufyan Ats-Tsauri :
"sewaktu saya mengerjakan Haji
bersama ayahku. Dan ketika berada
di dekat kepalanya ayahku meninggal
dan wajahnya tampak hitam kelam.
Lalu saya mengucapkan "Innalillah
wainna ilaihi raji'un" dan saya
menutup wajah ayahku dengan kain.
Kemudian saya tertidur dan bermimpi
dimana saya melihat ada orang yang
sangat tampan, sangat bersih dan
mengusap wajah ayahku, lalu wajah
ayahku itu langsung berubah menjadi
putih. Saat orang yang tampan itu
akan pergi, lantas saya pegang
pakaiannya sambil bertanya :
"Wahai hamba Allah siapakah
engkau? Bagaimana bisa karena
Anda, Allah menjadikan wajah ayahku
itu langsung berubah menjadi putih
di tempat yang istimewa ini?"
Orang itu menjawab : "Apakah kamu
tidak mengenal aku? Aku adalah
Muhammad bin Abdullah yang
membawa Al-Qur'an. Sesungguhnya
ayahmu itu termasuk orang yang
melampaui batas (banyak berbuat
dosa). Akan tetapi ia banyak
membaca shalawat atasku. Ketika ia
berada dalam suasana yang
demikian, ia meminta pertolongan
kepadaku maka akupun memberi
pertolongan kepadanya. Karena aku
suka memberi pertolongan kepada
orang yang banyak memperbanyak
shalawat atasku."
Setelah itu saya terbangun dari tidur
dan saya lihat wajah ayahku berubah
menjadi putih." (Lihat Kitab :
Tanbihun Ghofilin, As-Samarqhondi,
Hal. 261)

Tausiah Habibana Munzir

Allahu Yarham Sulthonul Qulub
Almaghrumlah Al-Habib Munzir Bin
Fuad Al-Musawa Beliau
Berkata:"Tidaklah seseorang
mendapat keberuntungan yg besar
kecuali orang yg mengetahui
bagaimana dia menertibkan,
mengatur dan memakai waktunya yg
singkat.. Bagaimana ia melalui waktu
malam dan siangnya,
menertibkannya, menentukan untuk
setiap waktunya satu kesibukan yg
tidak ia lewati dan mendahulukan dari
lainnya.. maka dengan itu akan
nampak barokah waktu. Mudah-
mudahan Allah swt memberkahi
dalam waktu kami dan kalian.

INI 21 JENIS WIRIDAN RASULULLAH SAW, AMALKAN BILA INGIN MULIA DUNIA DAN AKHIRAT

diantara dzikir-dzikir yang disunnahkan untuk dibaca dan
diamalkan adalah dzikir pagi dan
sore. Dzikir pagi dilakukan setelah
shalat shubuh sampai terbit matahari
atau sampai matahari meninggi saat
waktu dhuha, kira-kira jam tujuh atau
jam delapan. Adapun dzikir sore
dilakukan setelah shalat ‘ashar
sampai terbenam matahari atau
sampai menjelang waktu ‘isya.
Banyak sekali keutamaan dzikir pagi
dan sore sebagaimana yang
dijelaskan di dalam hadits-hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Adapun bacaannya dan
penjelasan tentang keutamaannya
adalah sebagai berikut:
1. Membaca:
ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻭَﺍﻟﺼَّﻼَﺓُ ﻭَﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ
ﻻَ ﻧَﺒِﻲَّ ﺑَﻌْﺪَﻩُ
Dibaca sekali ketika pagi dan sore.
Dari Anas yang dia memarfu’kannya
(sampai kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam), “Sungguh aku
duduk bersama suatu kaum yang
berdzikir kepada Allah setelah shalat
shubuh sampai terbitnya matahari
lebih aku sukai daripada
membebaskan/memerdekakan empat
orang dari keturunan Nabi Isma’il
(bangsa ‘Arab). Dan sungguh aku
duduk bersama suatu kaum yang
berdzikir kepada Allah setelah shalat
‘ashar sampai terbenamnya matahari
lebih aku sukai daripada
membebaskan empat orang (budak)
.” (HR. Abu Dawud no.3667 dan
dihasankan dalam Shahih Abu Dawud
2/698)
2. Membaca ayat kursi (Al-
Baqarah:255)
Dibaca sekali ketika pagi dan sore.
“Barangsiapa membacanya di pagi
hari maka akan dilindungi dari
(gangguan) jin sampai sore, dan
barangsiapa yang membacanya di
sore hari maka akan dilindungi dari
gangguan mereka (jin).” (HR. Al-
Hakim 1/562 dan dishahihkan dalam
Shahih At-Targhiib wat Tarhiib
1/273)
3. Membaca surat Al-Ikhlaash, Al-
Falaq dan An-Naas.
Dibaca 3x ketika pagi dan sore.
“Barangsiapa yang membacanya tiga
kali ketika pagi dan ketika sore maka
dia akan dicukupi dari segala
sesuatu.” (HR. Abu Dawud 4/322,
At-Tirmidziy 5/567, lihat Shahih At-
Tirmidziy 3/182)
4. Membaca:
ﺃَﺻْﺒَﺤْﻨَﺎ ﻭَﺃَﺻْﺒَﺢَ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ ﻟِﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ، ﻻَ
ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻻَ ﺷَﺮِﻳْﻚَ ﻟَﻪُ، ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ ﻭَﻟَﻪُ
ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳْﺮٌ، ﺭَﺏِّ
ﺃَﺳْﺄَﻟُﻚَ ﺧَﻴْﺮَ ﻣَﺎ ﻓِﻲْ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﻭَﺧَﻴْﺮَ ﻣَﺎ
ﺑَﻌْﺪَﻩُ، ﻭَﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦْ ﺷَﺮِّ ﻣَﺎ ﻓِﻲْ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ
ﻭَﺷَﺮِّ ﻣَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ، ﺭَﺏِّ ﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻜَﺴَﻞِ
ﻭَﺳُﻮْﺀِ ﺍﻟْﻜِﺒَﺮِ، ﺭَﺏِّ ﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦْ ﻋَﺬَﺍﺏٍ ﻓِﻲ
ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻭَﻋَﺬَﺍﺏٍ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮِ
Jika sore hari membaca:
ﺃَﻣْﺴَﻴْﻨَﺎ ﻭَﺃَﻣْﺴَﻰ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ ﻟِﻠَّﻪِ … ﺭَﺏِّ ﺃَﺳْﺄَﻟُﻚَ ﺧَﻴْﺮَ
ﻣَﺎ ﻓِﻲْ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻠَﺔِ ﻭَﺧَﻴْﺮَ ﻣَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻫَﺎ ﻭَﺃَﻋُﻮْﺫُ
ﺑِﻚَ ﻣِﻦْ ﺷَﺮِّ ﻣَﺎ ﻓِﻲْ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻠَﺔِ ﻭَﺷَﺮِّ ﻣَﺎ
ﺑَﻌْﺪَﻫَﺎ …
Dibaca sekali. (HR. Muslim 4/2088
no.2723 dari ‘Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu)
5. Membaca:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺑِﻚَ ﺃَﺻْﺒَﺤْﻨَﺎ ﻭَﺑِﻚَ ﺃَﻣْﺴَﻴْﻨَﺎ ﻭَﺑِﻚَ ﻧَﺤْﻴَﺎ
ﻭَﺑِﻚَ ﻧَﻤُﻮْﺕُ ﻭَﺇِﻟَﻴْﻚَ ﺍﻟﻨُّﺸُﻮْﺭُ
Jika sore hari membaca:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺑِﻚَ ﺃَﻣْﺴَﻴْﻨَﺎ ﻭَﺑِﻚَ ﺃَﺻْﺒَﺤْﻨَﺎ ﻭَﺑِﻚَ ﻧَﺤْﻴَﺎ
ﻭَﺑِﻚَ ﻧَﻤُﻮْﺕُ ﻭَﺇِﻟَﻴْﻚَ ﺍﻟْﻤَﺼِﻴْﺮُ
Dibaca sekali. (HR. At-Tirmidziy
5/466, lihat Shahih At-Tirmidziy
3/142)
6. Membaca:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺭَﺑِّﻲْ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ، ﺧَﻠَﻘْﺘَﻨِﻲْ ﻭَﺃَﻧَﺎ
ﻋَﺒْﺪُﻙَ، ﻭَﺃَﻧَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻋَﻬْﺪِﻙَ ﻭَﻭَﻋْﺪِﻙَ ﻣَﺎ
ﺍﺳْﺘَﻄَﻌْﺖُ، ﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦْ ﺷَﺮِّ ﻣَﺎ ﺻَﻨَﻌْﺖُ،
ﺃَﺑُﻮْﺀُ ﻟَﻚَ ﺑِﻨِﻌْﻤَﺘِﻚَ ﻋَﻠَﻲَّ، ﻭَﺃَﺑُﻮْﺀُ ﺑِﺬَﻧْﺒِﻲْ ﻓَﺎﻏْﻔِﺮْ
ﻟِﻲْ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻻَ ﻳَﻐْﻔِﺮُ ﺍﻟﺬُّﻧُﻮْﺏَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ
Dibaca sekali ketika pagi dan sore.
“Barangsiapa yang mengucapkannya
dalam keadaan yakin dengannya
ketika sore hari lalu meninggal di
malam harinya, niscaya dia akan
masuk surga. Dan demikian juga
apabila di pagi hari.” (HR. Al-
Bukhariy 7/150)
7. Membaca:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻋَﺎﻓِﻨِﻲْ ﻓِﻲْ ﺑَﺪَﻧِﻲْ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻋَﺎﻓِﻨِﻲْ ﻓِﻲْ
ﺳَﻤْﻌِﻲْ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻋَﺎﻓِﻨِﻲْ ﻓِﻲْ ﺑَﺼَﺮِﻱْ، ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ
ﺃَﻧْﺖَ . ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻧِّﻲْ ﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻜُﻔْﺮِ ﻭَﺍﻟْﻔَﻘْﺮِ،
ﻭَﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦْ ﻋَﺬَﺍﺏِ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮِ، ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ
Dibaca 3x ketika pagi dan sore. (HR.
Abu Dawud 4/324, Ahmad 5/42, An-
Nasa`iy di dalam ‘Amalul Yaum wal
Lailah no.22 dan Ibnus Sunniy no.69,
serta Al-Bukhariy di dalam Al-Adabul
Mufrad dan dihasankan sanadnya di
dalam Tuhfatul Akhyaar hal.26)
8. Membaca:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻧِّﻲْ ﺃَﺳْﺄَﻟُﻚَ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮَ ﻭَﺍﻟْﻌَﺎﻓِﻴَﺔَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ
ﻭَﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻧَّﻲْ ﺃَﺳْﺄَﻟُﻚَ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮَ ﻭَﺍﻟْﻌَﺎﻓِﻴَﺔَ
ﻓِﻲْ ﺩِﻳْﻨِﻲْ ﻭَﺩُﻧْﻴَﺎﻱَ ﻭَﺃَﻫْﻠِﻲْ ﻭَﻣَﺎﻟِﻲْ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺳْﺘُﺮْ
ﻋَﻮْﺭَﺍﺗِﻲْ، ﻭَﺁﻣِﻦْ ﺭَﻭْﻋَﺎﺗِﻲْ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺣْﻔَﻈْﻨِﻲْ ﻣِﻦْ
ﺑَﻴْﻦِ ﻳَﺪَﻱَّ، ﻭَﻣِﻦْ ﺧَﻠْﻔِﻲْ، ﻭَﻋَﻦْ ﻳَﻤِﻴْﻨِﻲْ، ﻭَﻋَﻦْ
ﺷِﻤَﺎﻟِﻲْ، ﻭَﻣِﻦْ ﻓَﻮْﻗِﻲْ، ﻭَﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻌَﻈَﻤَﺘِﻚَ ﺃَﻥْ
ﺃُﻏْﺘَﺎﻝَ ﻣِﻦْ ﺗَﺤْﺘِﻲْ
Dibaca sekali ketika pagi dan sore.
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah,
lihat Shahih Ibnu Majah 2/332)
9. Membaca:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻋَﺎﻟِﻢَ ﺍﻟْﻐَﻴْﺐِ ﻭَﺍﻟﺸَّﻬَﺎﺩَﺓِ ﻓَﺎﻃِﺮَ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕِ
ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ، ﺭَﺏَّ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻭَﻣَﻠِﻴْﻜَﻪُ، ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَّ
ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ، ﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦْ ﺷَﺮِّ ﻧَﻔْﺴِﻲْ، ﻭَﻣِﻦْ
ﺷَﺮِّ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﻭَﺷِﺮْﻛِﻪِ، ﻭَﺃَﻥْ ﺃَﻗْﺘَﺮِﻑَ ﻋَﻠَﻰ
ﻧَﻔْﺴِﻲْ ﺳُﻮْﺀًﺍ، ﺃَﻭْ ﺃَﺟُﺮَّﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ
Dibaca sekali ketika pagi dan sore.
(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidziy,
lihat Shahih At-Tirmidziy 3/142)
10. Membaca:
ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻻَ ﻳَﻀُﺮُّ ﻣَﻊَ ﺍﺳْﻤِﻪِ ﺷَﻲْﺀٌ ﻓِﻲ
ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻭَﻻَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺴَّﻤِﻴْﻊُ ﺍﻟْﻌَﻠِﻴْﻢُ
Dibaca 3x ketika pagi dan sore.
“Barangsiapa yang mengucapkannya
tiga kali ketika pagi dan tiga kali
ketika sore, tidak akan
membahayakannya sesuatu
apapun.” (HR. Abu Dawud 4/323, At-
Tirmidziy 5/465, Ibnu Majah dan
Ahmad, lihat Shahih Ibnu Majah
2/332)
11. Membaca:
ﺭَﺿِﻴْﺖُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﺭَﺑًّﺎ، ﻭَﺑِﺎﻟْﺈِﺳْﻼَﻡِ ﺩِﻳْﻨًﺎ، ﻭَﺑِﻤُﺤَﻤَّﺪٍ
ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻧَﺒِﻴًّﺎ
Dibaca 3x ketika pagi dan sore.
“Barangsiapa yang mengucapkannya
tiga kali ketika pagi dan ketika sore
maka ada hak atas Allah untuk
meridhainya pada hari kiamat.”
Boleh juga membaca:
… ﻭَﺑِﻤُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻧَﺒِﻴًّﺎ
ﻭَﺭَﺳُﻮْﻻً
(HR. Ahmad 4/337, An-Nasa`iy di
dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no.4
dan Ibnus Sunniy no.68, Abu Dawud
4/418, At-Tirmidziy 5/465 dan
dihasankan dalam Tuhfatul Akhyaar
hal.39)
12. Membaca:
ﻳَﺎ ﺣَﻲُّ ﻳَﺎ ﻗَﻴُّﻮْﻡُ ﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻚَ ﺃَﺳْﺘَﻐِﻴْﺚُ، ﺃَﺻْﻠِﺢْ
ﻟِﻲْ ﺷَﺄْﻧِﻲْ ﻛُﻠَّﻪُ ﻭَﻻَ ﺗَﻜِﻠْﻨِﻲْ ﺇِﻟَﻰ ﻧَﻔْﺴِﻲْ ﻃَﺮْﻓَﺔَ
ﻋَﻴْﻦٍ
Dibaca sekali ketika pagi dan sore.
(HR. Al-Hakim dan beliau
menshahihkannya serta disepakati
oleh Adz-Dzahabiy 1/545, lihat
Shahih At-Targhiib wat Tarhiib
1/273)
13. Membaca:
ﺃَﺻْﺒَﺤْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻓِﻄْﺮَﺓِ ﺍﻹِﺳْﻼَﻡِ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﻛَﻠِﻤَﺔِ
ﺍﻹِﺧْﻼَﺹِ، ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺩِﻳْﻦِ ﻧَﺒِﻴِّﻨَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﻭَﻋَﻠَﻰ ﻣِﻠَّﺔِ ﺃَﺑِﻴْﻨَﺎ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴْﻢَ ﺣَﻨِﻴْﻔًﺎ
ﻣُﺴْﻠِﻤًﺎ ﻭَﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴْﻦَ
Jika sore hari membaca:
ﺃَﻣْﺴَﻴْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻓِﻄْﺮَﺓِ ﺍﻹِﺳْﻼَﻡِ …
Dibaca sekali. (HR. Ahmad 3/406,
407, Ibnus Sunniy di dalam ‘Amalul
Yaum wal Lailah no.34, lihat
Shahiihul Jaami’ 4/209)
14. Membaca:
ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻩِ
Dibaca 100x ketika pagi dan sore.
“Barangsiapa yang membacanya
seratus kali ketika pagi dan sore
maka tidak ada seorang pun yang
datang pada hari kiamat yang lebih
utama daripada apa yang dia bawa
kecuali seseorang yang membaca
seperti apa yang dia baca atau yang
lebih banyak lagi.” (HR. Muslim
4/2071)
15. Membaca:
ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻻَ ﺷَﺮِﻳْﻚَ ﻟَﻪُ، ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ
ﻭَﻟَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳْﺮٌ
Dibaca 10x. (HR. An-Nasa`iy di
dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah
no.24, lihat Shahih At-Targhiib wat
Tarhiib 1/272)
Atau dibaca sekali ketika malas/
sedang tidak bersemangat. (HR. Abu
Dawud 4/319, Ibnu Majah, Ahmad
4/60, lihat Shahih Abu Dawud 3/957
dan Shahih Ibnu Majah 2/331)
16. Membaca:
ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻻَ ﺷَﺮِﻳْﻚَ ﻟَﻪُ، ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ
ﻭَﻟَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳْﺮٌ
Dibaca 100x ketika pagi.
“Barangsiapa yang membacanya
seratus kali dalam sehari maka
(pahalanya) seperti membebaskan
sepuluh budak, ditulis untuknya
seratus kebaikan, dihapus darinya
seratus kesalahan, dan dia akan
mendapat perlindungan dari (godaan)
syaithan pada hari itu sampai sore,
dan tidak ada seorang pun yang
lebih utama daripada apa yang dia
bawa kecuali seseorang yang
mengamalkan lebih banyak dari
itu.” (HR. Al-Bukhariy 4/95 dan
Muslim 4/2071)
17. Membaca:
ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻩِ : ﻋَﺪَﺩَ ﺧَﻠْﻘِﻪِ، ﻭَﺭِﺿَﺎ
ﻧَﻔْﺴِﻪِ، ﻭَﺯِﻧَﺔَ ﻋَﺮْﺷِﻪِ ﻭَﻣِﺪَﺍﺩَ ﻛَﻠِﻤَﺎﺗِﻪِ
Dibaca 3x ketika pagi. (HR. Muslim
4/2090)
18. Membaca:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻧِّﻲْ ﺃَﺳْﺄَﻟُﻚَ ﻋِﻠْﻤًﺎ ﻧَﺎﻓِﻌًﺎ، ﻭَﺭِﺯْﻗًﺎ ﻃَﻴِّﺒًﺎ،
ﻭَﻋَﻤَﻼً ﻣُﺘَﻘَﺒَّﻼً
Dibaca sekali ketika pagi. (HR. Ibnus
Sunniy di dalam ‘Amalul Yaum wal
Lailah no.54, Ibnu Majah no.925 dan
dihasankan sanadnya oleh ‘Abdul
Qadir dan Syu’aib Al-Arna`uth di
dalam tahqiq Zaadul Ma’aad 2/375)
19. Membaca:
ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ
Dibaca 100x dalam sehari. (HR. Al-
Bukhariy bersama Fathul Baari
11/101 dan Muslim 4/2075)
20. Membaca:
ﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻜَﻠِﻤَﺎﺕِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﺘَّﺎﻣَّﺎﺕِ ﻣِﻦْ ﺷَﺮِّ ﻣَﺎ ﺧَﻠَﻖَ
Dibaca 3x ketika sore. “Barangsiapa
yang mengucapkannya ketika sore
tiga kali maka tidak akan
membahayakannya panasnya malam
itu.” (HR. Ahmad 2/290, lihat Shahih
At-Tirmidziy 3/187 dan Shahih Ibnu
Majah 2/266)
21. Membaca:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻭَﺳَﻠِّﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻧَﺒِﻴِّﻨَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ
Dibaca 10x ketika pagi dan sore.
“Barangsiapa yang membaca
shalawat kepadaku ketika pagi
sepuluh kali dan ketika sore sepuluh
kali maka dia akan mendapatkan
syafa’atku pada hari kiamat.” (HR.
Ath-Thabraniy dengan dua sanad,
salah satu sanadnya jayyid, lihat
Majma’uz Zawaa`id 10/120 dan
Shahih At-Targhiib wat Tarhiib
1/273)
Betapa besarnya keutamaan amalan
tersebut! Selayaknya bagi kita untuk
melaksanakannya semaksimal
mungkin. Jangan sampai terlewat
pahala yang begitu besar ini. Jangan
sampai waktu kita terbuang untuk
ngobrol kesana kemari yang sifatnya
mubah sehingga hilanglah
kesempatan mendapatkan pahala
yang besar ini. Konsentrasikanlah
setelah shalat shubuh dengan dzikir.
Dzikir setelah shalat subuh
dilanjutkan dengan dzikir pagi sampai
selesai. Kemudian membaca Al-
Qur`an atau muraja’ah hafalan
sampai terbit matahari sekitar 15-20
menit. Setelah itu kita shalat dua
raka’at yang diistilahkan dengan
shalat isyraaq (jangan shalat ketika
tepat matahari terbit, karena hal ini
dilarang di dalam syari’at).
Janganlah waktu ini disibukkkan
dengan urusan lain yang kurang
penting. Kecuali amalan lain yang
mempunyai keutamaan yang besar
seperti ta’lim atau urusan lainnya
yang sifatnya sangat urgen dan
mendesak. (oleh K.H. Ridwan
Anshory)