KISAH KISAH PENUNTUT
ILMU
Ilmu itu memusuhi pemuda yang
tinggi hati. Sebagaimana banjir
memusuhi tempat yang tinggi
“Kita lebih perlu kepada sedikit adab
dari pada kepada banyak ilmu”
demikian ungkapan penting yang
dituturkan Ibnu al-Mubarak.
Ungkapan itu sama sekali bukan
ungkapan yang mengecilkan peran
ilmu. Karena, ilmu memang penting,
bahkan sangat penting. Sejak kecil
kita telah dipesankan ihwal
pentingnya ilmu dan kewajiban
menuntutnya. Tentu kita sangat
mengenal sabda Rasulullah saw,
“Menuntut ilmu adalah kewajiban
bagi setiap muslim”.
Tetapi Islam tak hanya menekankan
pentingnya ilmu. Akhlaq yang mulia
juga sangat penting, bahkan lebih
penting lagi. Sabda Nabi saw yang
sangat terkenal menegaskan hal itu,
“Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlaq yang
mulia.” Perhatikanlah, tujuan Nabi
Saw diutus pun, sebagaimana yang
beliau ungkapkan sendiri, adalah
menyempurnakan akhlaq yang mulia.
Tentu dalam pengertian yang luas
dan menyeluruh yang dimulai dengan
akhlaq terhadap Allah swt.
Dari hadits tersebut kita dapat
memahami betapa Islam sangat
mementingkan akhlaq. Dalam
pelaksanaannya, akhlaq yang bersifat
global itu terwujud dalam adab adab
yang khusus, mulai dari adab
terhadap Allah, adab terhadap Nabi,
adab terhadap orang tua, adab
terhadap anak, adab terhadap guru,
murid, adab terhadap keluarga,
tetangga, terhadap tamu, dan
sebagainya. Juga adab dalam
melakukan berbagai perbuatan, baik
ibadah ibadah maupun yang lainnya.
Demikian pentingnya perkara adab,
sehingga Ibnu Al-Mubarak juga
mengatakan, “Barangsiapa
meremehkan adab, niscaya dihukum
dengan tidak memiliki hal hal
sunnah. Barang siapa meremehkan
sunnah sunnah, niscaya dihukum
dengan tidak memiliki (tidak
mengerjakan) hal hal yang wajib.
Dan barang siapa meremehkan hal
hal yang wajib, niscaya dihukum
dengan tidak memiliki makrifah.”
Karena itulah, seorang ulama
berpesan kepada anaknya, “Wahai
anakku, sungguh , engkau
mempelajari satu bab adab lebih aku
sukai daripada engkau mempelajari
tujuh puluh bab ilmu.”
Apa yang dituturkan Abdurrahman bin
al-Qasim berikut ini semakin
menguatkan hal tersebut, “Aku
mengabdi kepada Imam Malik selama
20 tahun, dua tahun diantaranya
untuk mempelajari ilmu dan 18 tahun
untuk mempelajari adab. Seandainya
saja aku bisa jadikan seluruh waktu
tersebut untuk mempelajari adab
(tentu aku lakukan).”
Apa yang dikatakan oleh Ibnu Al-
Mubarak diatas tidak berarti ilmu
tidak penting, karena jika demikian
berarti bertentangan dengan ajaran
agama. Kalimat “Kita lebih perlu
kepada sedikit adab daripada kepada
banyak ilmu” artinya bagi orang yang
memiliki banyak ilmu tetapi tidak
memiliki adab sama sekali, sedikit
adab baginya lebih penting dan lebih
ia perukan daripada ilmunya yang
banyak yang tak disertai adab. Jadi,
bukan berarti kita hanya butuh adab
yang sedikit, dan bukan pula berarti
tidak butuh ilmu yang banyak. Kita
tetap butuh adab yang banyak
sekaligus ilmu yang banyak pula.
Suatu ketika Imam Syafi’i menuturkan
apa yang pernah dikatakan oleh
gurunya, Imam Malik kepadanya,
“Wahai Muhammad (nama Imam
Syafi’i), jadikanlah ilmumu bagus dan
adabmu halus”.
Ya, jika kita ingin memiliki
kebahagiaan di dunia dan di akhirat,
ilmu dan adab memang sama sama
harus dimiliki, tak boleh dipilih salah
satu saja. Wajarlah jika kemudian
ada ulama yang mengatakan,
“Apabila seorang pengajar
menggabungkan tiga hal (memiliki
ketiganya), sempurnalah nikmat
yang dirasakan oleh pelajar:
Kesabaran, tawadhu’, dan akhlaq
yang baik. Dan apabila seorang
murid menggabungkan tiga hal
(memiliki ketiganya), niscaya akan
sempurnalah nikmat yang dirasakan
oleh pengajar: akal, adab dan
pemahaman yang baik.” Demikian
dikutip dari kitab al-Ihya’.
Literatut literatur kita sangat kaya
dengan kisah kisah adab para salaf
dalam menuntut ilmu dan sangat
banyak butiran mutiara hikmah yang
dapat kita petik darinya. Uraian
berikut akan memaparkan sebagian
diantaranya, yang fokusnya pada
adap terhadap ilmu dan terhadap
guru, yang sebagian besar bahannya
dikutip dari kitab Al-Manhaj As-Sawi,
karya Habib Zein bin Ibrahim bin
Smith.
Dihikayatkan bahwa suatu saat Abu
Yazid Al-Busthami, tokoh sufi
terkemuka, bermaksud mengunjungi
seorang laki laki yang dikatakan
memiliki kebaikan. Maka ia pun
menunggunya di sebuah masjid.
Orang yang ditunggu itu pun keluar,
kemudian meludah di masjid, yakni di
dindingnya sebelah luar.
Menyaksikan hal itu, Al-Busthami
pun pulang dan tidak jadi bertemu
dengannya. Ia mengatakan “Tidak
dapat dipercaya untuk menjaga
rahasia Allah, orang yang tidak dapat
memelihara adab syari’at.”
Sebelum memperhatikan perincian
adab yang mesti dijaga saat
menuntut ilmu, langkah pertama yang
harus dilakukan oleh seorang
penuntut ilmu adalah membersihkan
hatinya. Mengenai hal ini, al-Imam
An-Nawawi mengatakan dalam
mukadimah kitab Syarh al-
Muhadzdzab, “Semestinya seorang
pelajar membersihkan hatinya dari
kotoran agar layak untuk menerima
ilmu, menghafalnya, dan
mendapatkan buahnya.”
Masalah hati memang sangat
ditekankan dalam islam, karena ia
menjadi kunci terpenting dari segala
sesuatu. Dalam Shahih al-Bukhari
dan Shahih Muslim, terdapat hadits
Rasulullah saw yang menyebutkan,
“Sesungguhnya didalam tubuh
terdapat segumpal daging yang,
apabila baik, baik pula seluruh tubuh,
dan, apabila rusak, rusak juga
seluruh tubuh. Ketahuilah itulah
hati.”
Para ulama mengatakan,
membersihkan hati untuk ilmu seperti
membersihkan tanah untuk ditanami.
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad
membuat perumpamaan yang sangat
tepat tentang hal itu. “Seandainya
engkau datang membawa bejana
yang kotor kepada seseorang yang
engkau ingin mendapatkan minyak
atau madu atau semacamnya dari
orang itu, ia akan berkata kepadamu,
“Pergilah, cucilah dulu”. Ini dalam
urusan dunia, lalu bagaimana
rahasia rahasia ilmu akan
ditempatkan dalam hati yang kotor?”
Diriwayatkan ketika Imam Syafi’i
mendatangi Imam Malik dan
membaca kitab al-Muwaththa
kepadanya dengan hafalan yang
membuatnya kagum dan kemudian
Imam Syafi’i menyertainya terus,
Imam Malik berkata kepadanya,
“Wahai Muhammad, bertaqwalah
kepada Allah dan jauhilah perbuatan
maksiat, karena sesungguhnya
engkau akan memiliki sesuatu yang
sangat penting.” Dalam riwayat lain
disebutkan bahwa Imam Malik
berkata kepadanya, “Sesungguhnya
Allah telah menempatkan cahaya
didalam hatimu, maka janganlah
engkau padamkan ia dengan
perbuatan perbuatan maksiat.”
Imam Syafi’i, yang telah membuat
kagum para gurunya, termasuk Imam
Malik, pernah mengadukan perihal
dirinya yang belum memuaskannya,
“Aku mengadukan kepada
Waki’ (nama salah seorang gurunya)
buruknya hafalanku. Maka ia berikan
petunjuk kepadaku untuk
meninggalkan maksiat. Dan
memberitahukan kepadaku bahwa
ilmu itu cahaya. Dan cahaya Allah tak
akan diberikan kepada yang
melakukan maksiat.”
Sahl bin Abdullah, tokoh ulama lain,
menambahkan, “Sulit bagi hati untuk
dimasuki oleh cahaya jika didalamnya
terdapat sesuatu yang dibenci oleh
Allah”.
Seorang penuntut ilmu juga mesti
memiliki niat yang baik dalam
menuntut ilmu, karena niat itu
merupakan pokok dalam semua
perbuatan, berdasarkan sabda Nabi
Saw, “Hanyasanya semua perbuatan
itu tergantung niatnya,” Karena itu ia
mesti bertujuan untuk mendapatkan
keridhoan Allah, mengamalkan nya,
menghidupkan syari’at, dekat dengan
Allah, menghilangkan kejahilah dari
dirinya dan dari semua orang yang
bodoh, menghidupkan agama dan
melestarikan ajaran Islam dengan
melakukan amar ma’ruf nahi munkar
terhadap dirinya dan orang lain
semampu mungkin.
Tawadhu’ dan Mengabdi kepada
Ulama
Semestinya seorang penuntut ilmu
tidak menghinakan dirinya dengan
perbuatan tamak dan menjaga diri
dari perbuatan takabur. Imam Syafi’i
mengatakan, “Tidak akan berbahagia
seseorang yang mempelajari ilmu
dengan kekuasaan dan tinggi hati,
melainkan yang mempelajarinya
dengan rendah hati, kehidupan yang
sulit, dan mengabdi kepada ulama,
dialah yang akan bahagia.”
Meraih ilmu memang sering kali tidak
mudah, bahkan terkadang bisa
membuat orang yang mengejarnya
merasa rendah di hadapan orang
yang ingin diambil ilmunya. Didalam
suatu riwayat disebutkan, Ibnu Abbas
mengatakan, “Aku hina ketika
menuntut ilmu lalu mulia ketika
menjadi orang yang dituntut
ilmunya.”
Ibnu Abbas sering pergi ke rumah
Ubay bin Ka’ab. Terkadang ia
mendapati pintu rumah Ubay terbuka
sehingga ia segera diizinkan masuk,
dan terkadang pintunya tertutup
sedangkan ia malu untuk
mengetuknya. Maka ia berdiam saja
sampai siang, tetap duduk di depan
pintu rumah. Angin menerbangkan
debu kearahnya sampai akhirnya ia
menjadi tidak dapat dikenali karena
banyaknya debu yang menempel
ditubuhnya dan pakaiannya.
Lalu Ubay keluar dan melihatnya
dalam keadaan demikian. Hal itu
membuatnya merasa tidak enak.
“Mengapa engkau tidak meminta
izin?” tanyanya. Ibnu Abbas
beralasan malu kepadanya.
Pernah terjadi juga, disuatu hari Ubay
ingin menunggu kendaraan, maka
Ibnu Abbas mengambil hewan
kendaraanya sehingga Ubay
menaikinya kemudian ia berjalan
bersamanya. Maka berkatalah Ubay
kepadanya, “Apa ini, wahai Ibnu
Abbas?”
Ibnu Abbas menjawab, “Beginilah
kami diperintahkan untuk
menghormati ulama kami”
Ubay menaiki kendaraan sedangkan
Ibnu Abbas berjalan dibelakang
kendaraan Ubay. Ketika turun, Ubay
mencium tangan Ibnu Abbas. Maka
berkatalah Ibnu Abbas kepaanya,
“Apa ini?”
Ubay menjawab, “Begitulah kami
diperintahkan untuk menghormati
ahlul bayt nabi kami.” Demikian
disebutkan oleh al-Habib Al-Allamah
Abdullah bin al-Hussain Bilfaqih
sebagaimana tersebut dalam kitab
Iqd Al-Yawaqit.
Pentingnya mengabdi kepada ulama
dan taat kepada mereka juga
dituturkan oleh Sufyan bin Uyaynah.
Ia mengatakan, “Aku telah membaca
al-Quran ketika berusia empat tahun
dan menulis hadits ketika berusia
tujuh tahun. Ketika usiaku sampai 15
tahun, ayahku berkata kepadaku,
‘Anakku, syari’at bagi anak anak
telah terputus darimu. Maka
bercampurlah dengan kebaikan.
Niscaya engkau akan menjadi
ahlinya. Ketahuilah, seseorang tidak
akan berbahagia dengan ulama
kecuali orang yang menaati mereka.
Karena itu, taatilah mereka, niscaya
engkau akan bahagia. Dan
mengabdilah kepada mereka, niscaya
engkau akan mendapatkan ilmu
mereka’.
Maka aku mengikuti wasiat ayahku
dan tidak pernah berpaling darinya.”
Demikian dikutip oleh an-Nawawi
dalam Tahdzib- nya.
Meskipun seorang murid harus taat,
mengabdi, dan melayani gurunya,
seorang guru pun akan mendapatkan
kemuliaan bila melayani muridnya.
Artinya, membantu segala sesuatu
yang dapat memperlancar dan
memudahkan murid belajar
kepadanya. Mengenai ini, ada sebuah
ucapan penting dari al-Imam Ja’far
ash-Shadiq, “Ada empat hal yang
tidak semestinya seorang yang mulia
memandannya rendah: bangun dari
majelisnya untuk menyambut
ayahnya, melayani tamunya,
mengurusi kendaraannya, dan
melayani orang yang belajar
kepadanya.”
Ada sebuah perkataan penting dari
Mujahid yang perlu kita simak. “Tidak
akan dapat mempelajari ilmu, orang
yang pemalu, dan tidak juga orang
yang sombong.”
Ungkapan itu dijelaskan oleh Habib
Zein bin Smith: Seorang yang pemalu
tidak dapat mempelajarinya karena ia
tercegah oleh rasa malunya untuk
mempelajari agama dan menanyakan
apa yang tidak diketahuinya,
sedangkan orang yang sombong
tercegah oleh sikap takaburnya dari
mengambil manfaat dan belajar
kepada orang yang lebih rendah
derajatnya. Tidaklah seseorang
menjadi alim sampai ia mengambil
ilmu dari orang yang berada
diatasnya, dari orang yang sama
dengannya, dan dari orang yang
berada dibawahnya.
Al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi
mengatakan, “Semestinya penuntut
ilmu mengambil manfaat yang
bersifat ilmiyah dan adab yang baik
dari mana saja ia dapatkan,baik dari
orang dekat, orang jauh, orang yang
tinggi kedudukannya, atau orang
yang rendah kedudukannya, orang
yang suka menampakkan diri
ataupun orang yang suka
menyembunyikan diri, dan tidak
terbelenggu oleh kebodohan dan
kebiasaan, serta tidak mencegah
dirinya untuk mengambil ilmu dari
orang yang tidak terkenal. Karena,
jika mencegahnya, ia termasuk orang
yang jahil dan lalai dari apa yang
tersebut dalam hadits, “Hikmah itu
adalah barang hilang kepunyaan
setiap mukmin, dimana saja ia
dapatkan, hendaklah ia ambil.”
Ia juga lalai dari apa yang dikatakan
sebagian ahli hikmah, “Lihatlah apa
yang dikatakan, jangan lihat siapa
yang mengatakan.”
Secara tegas, Abu al-Bakhtari
mengatakan, “Bahwa aku berada
disuatu kaum yang lebih alim
daripada aku lebih aku sukai
daripada aku berada di suatu kaum
yang aku paling alim diantara
mereka. Karena, jika aku orang yang
paling alim diantara mereka, aku tidak
dapat mengambil manfaat; sebaliknya
jika aku berada bersama orang orang
yang lebih alim dariku, niscaya aku
dapat mengambil manfaat,” Demikian
dikutip oleh Al-Yafi’i dalam Mir’at al-
Jinan.
Mengejar ilmu, dan merasa diri
belum bisa atau kurang menguasai,
menjadi syarat penting untuk meraih
ilmu, sebagaimana dikatakan Habib
Abdullah bin Alwi Al-Haddad, “Tidak
dibukakan bagi seseorang mengenai
suatu ilmu sampai ia mencarinya dan
meyakini bahwa ia belum
memilikinya.”
Sedikit Makan dan Tidur
Menahan diri dari banyak bersenang
senang, terutama makan dan tidur,
juga menjadi syarat penting seorang
yang sedang berjuang untuk
mendapatkan ilmu. Bagaimana
mungkin seorang yang hidupnya
selalu bersantai santai, rakus
terhadap berbagai makanan, dan
suka tidur, akan bisa mendapatkan
ilmu yang banyak? Itulah sebabnya
Sahnun mengatakan, “Ilmu itu tidak
patut dimiliki orang yang biasa
makan sampai kenyang.”
Luqman al-Hakim, seorang bijak
yang namanya terabadikan dalam Al-
Quran, menyampaikan hikmah
penting kepada anaknya, “Wahai
anakku, jika perut telah penuh,
niscaya pikiran akan tidur, hikmah
akan tuli, dan anggota anggota badan
akan lumpuh dari ibadah.”
Itulah sebabnya, sejak dulu para
ulama terkemuka disaat saat berburu
ilmu senantiasa menjaga dirinya dari
banyak makan. Diantaranya,
sebagaimana yang dikemukakan
Imam Syafi’i, “Aku tidak pernah
kenyang sejak berusia 16 tahun,
karena kenyang itu memberatkan
badan, mengeraskan hati,
menghilangkan kecerdasan,
mendatangkan tidur, dan melemahkan
dari ibadah.” Demikian dikutip dari
kitab Hilyah al-Auliya.
Berkaitan dengan itu, penting kita
perhatikan pesan Sayyidina Umar bin
Khotthob berikut ini, “Jauhilah oleh
kalian sifat rakus dalam makanan dan
minuman, karena itu membawa
kerusakan bagi tubuh, menyebabkan
kegagalan, dan membuat malas dari
melakukan sholat. Hendaklah kalian
sederhana di dalam keduanya
(makanan dan minuman), karena itu
yang lebih baik bagi tubuh dan lebih
menjauhkan dari pemborosan. Dan
sesungguhnya Allah benci kepada
seorang alim yang gemuk.”
Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam
ath-Thib an-Nabawi yang dikutip
dalam kitab Kasyf al-Khafa.”
Adab terhadap Guru
Di dalam sebuah riwayat terdapat
ungkapan berikut, “Pelajarilah ilmu
dan pelajarilah untuk kepentingan
ilmu itu, ketenangan dan
kewibawaan, dan bertawadhu’lah
kepada orang yang engkau belajar
darinya.” Imam An-Nawawi
mengatakan, “Semestinya seorang
murid itu bersikap tawadhu’ kepada
gurunya dan beradab terhadapnya
sekalipun ia (gurunya) lebih muda
usianya, lebih sedikit terkenalnya,
lebih rendah nasabnya, dan lebih
sedikit kebaikannya. Dengan sikap
tawadhu’nya ia akan memahami
ilmu.”
Pengertian tersebut juga tergambar
dalam sebuah syair, yang artinya:
Ilmu itu memusuhi
pemuda yang tinggi hati
Sebagaimana banjir memusuhi
tempat yang tinggi
Seberapa banyak ilmu yang akan
didapat seseorang dari gurunya
diantaranya tergantung sejauh mana
adabnya terhadap sang guru. Tokoh
ulama Hadhramaut, Imam Ali bin
Hasan Al-Attas, mengatakan,
“Sesungguhnya yang diperoleh dari
ilmu, pemahaman, dan cahaya, yakni
terungkapnya hijab, adalah menurut
ukuran adab terhadap guru.
Sebagaimana ukurannya yang ada
pada dirimu, demikian pula ukuran itu
disisi Allah tanpa diragukan lagi.”
Ia juga mencontohkan bagaimana
dimasa lalu anak anak, meskipun
anak khalifah atau raja, dididik untuk
menghormati dan melayani gurunya.
“Al-Amin dan Al-Ma’mun, dua orang
putra Harun Ar-Rasyid, saling
berlomba untuk meraih sandal guru
mereka, Al-Kisa’i, agar dapat
memakaikan sandal itu kepada
gurunya.
Maka berkatalah guru mereka kepada
mereka pada saat itu, ‘Masing
masing memegang satu’.
Ya, guru memang harus dilayani dan
dihormati, karena ia bagaikan
orangtua kita. Di dalam hadits
dikatakan, “Ayahmu itu ada tiga: Ayah
yang melahirkanmu (melalui ibumu),
ayah yang menikahkanmu dengan
putrinya (mertua), dan ayah yang
mengajarimu, dan dialah yang paling
utama.” Demikian keterangan dari
kitab al-‘Athiyyah al-Haniyyah.
Mengenai hal itu, ada orang yang
mengatakan, “Aku dahulukan guruku
dibandingkan bakti kepada ayahku.
Sekalipun aku mendapatkan kebaikan
dan kasih sayang dari ayahku. Yang
ini adalah pendidik jiwaku, dan jiwa
itu adalah permata. Dan yang itu
pendidik tubuhku dan ia bagaikan
kerang baginya”.
Al-Imam Sya’rani mengatakan, “Telah
sampai kepada kami ucapan dari
Syaikh Bahauddin as-Subki, ‘Ketika
aku sedang menaiki kendaraan
bersama ayahku, yakni Syaikhul Islam
Taqiyyuddin as-Subki, di suatu jalan
di negeri Syam, tiba tiba ia
mendengar seseorang dari kaum
petani Syam mengatakan: Aku pernah
bertanya kepada Al-Faqih Muhyiddin
An-Nawawi tentang masalah ini dan
itu.
Maka turunlah ayahku dari kudanya
dan mengatakan: Demi Allah, aku
tidak akan mengendarai tunggangan
sedangkan mata melihat Muhyiddin
berjalan!
Kemudian ia memintanya untuk
mengendarai kuda, sedangkan beliau
sendiri berjalan sampai memasuki
negeri Syam’.”
Kemudian Asy-Sya’rani mengatakan,
“Begitulah, wahai saudaraku, para
ulama berlaku terhadap guru guru
mereka meskipun ia tidak
menjumpainya karena datang
beberapa tahun setelah
kematiannya.”
Betapa besarnya penghormatan dan
kecintaan para tokoh ulama dahulu
terhadap para gurunya dapat kita
simak dari ucapan Abu Hanifah
berikut ini, “Sejak Hammad (yakni
gurunya) wafat, aku tidak pernah
melakukan sholat melainkan aku
mintakan ampunan untuk nya beserta
kedua orang tuaku, dan
sesungguhnya aku selalu
memohonkan ampunan untuk orang
yang aku belajar darinya suatu ilmu
atau orang yang aku ajari ilmu,”
Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, juga
sangat mencintai gurunya itu,
“Sesungguhnya aku mendoakan Abu
Hanifah sebelum mendoakan ayahku,
dan aku pernah mendengar Abu
Hanifah mengatakan, ‘Sesungguhnya
aku mendoakan Hammad bersama
kedua orang tuaku’.” Demikian
disebutkan dalam kitab Tahdzib al-
Asma’, karya Imam Nawawi.
Apa yang dikatakan oleh Imam Asy-
Syafi’i berikut ini mungkin akan
membuat kita tercengang, “Aku
senantiasa membuka kertas kitab di
hadapan Malik dengan lembut agar ia
tidak mendengarnya, karena hormat
kepada beliau.” Bahkan Ar-Rabi’,
sahabat asy-Syafi’i sekaligus
muridnya, mengatakan, “Aku tidak
berani minum air sedangkan Asy-
Syafi’i melihatku, karena
menghormatinya.”
Banyak lagi kisah yang mungkin akan
membuat kita terheran heran dengan
penghormatan mereka kepada para
gurunya. Al-Imam Asy-Sya’rani
mengatakan, “Telah sampai
keterangan kepada kami mengenai
Imam An-Nawawi bahwa suatu hari
ia dipanggil oleh gurunya, Al-Kamal
Al-Irbili, untuk makan bersamanya.
Maka ia mengatakan, “Wahai Tuanku,
maafkan aku. Aku tidak dapat
memenuhinya, karena aku
mempunyai uzur syar’i. Dan ia pun
meninggalkannya.
Kemudian seorang kawannya
bertanya kepadanya, ‘Uzur apa itu?’
Ia menjawab, ‘Aku takut bila guruku
lebih dahulu memandang suatu
suapan tetapi aku yang memakannya
sedangkan aku tidak menyadarinya.’
Apabila ia keluar untuk belajar
dengan membaca kitab kepada
gurunya, ia lebih dahulu bersedekah
di jalan yang ia lakukan dengan niat
untuk gurunya dan mengucapkan
doa, “Ya Allah, tutupilah dariku aib
guruku agar mataku tidak melihat
kekurangannya dan agar tidak ada
seorang pun yang menyampaikan
kepadaku.” Perhatikanlah, sebegitu
jauhnya perhatian dan kecintaan
mereka kepada guru.
Diriwayatkan, Amirul Mu’minin, Ali
bin Abi Thalib pernah mengatakan,
“Diantara hak gurumu terhadapmu
adalah engkau mengucapkan salam
kepada orang secara umum dan
mengucapkannya secara khusus
kepadanya, engkau duduk
didepannya, jangan menunjuk
dengan tanganmu disisinya, dan
jangan memberi isyarat dengan
matamu, jangan pula engkau
mengatakan, ‘Fulan mengatakan yang
berbeda dengan yang Tuan katakan’,
jangan mengghibah seseorang di
hadapannya, jangan bermusyawarah
dengan temanmu di majelisnya,
jangan memegang bajunya apabila ia
bangun, jangan mendesaknya apabila
ia tampak sedang malas, dan jangan
pula berpaling darinya.” Demikian
disebutkan oleh Imam An-Nawawi
dalam kitabnya, At-Tibyan fi Adabi
Hamalah al-Qur’an.
Abu bakar bin Ayyasy mengatakan,
“Ketika saudara Sufyan ats-Tsauri
wafat, orang orang berkumpul
menemuinya untuk berta’ziyah, lalu
datanglah Abu Hanifah. Maka
bangkitlah Sufyan kearahnya,
memeluknya, mendudukkan di
tempatnya, dan ia duduk
dihadapannya.
Ketika orang orang telah bubar, para
sahabat Sufyan mengatakan, ‘Kami
melihatmu melakukan sesuatu yang
mengherankan.’
Sufyan menjawab, ‘Orang ini adalah
orang yang memiliki kedudukan
dalam ilmu. Seandainya aku tidak
bangun karena ilmunya, aku tetap
akan bangun karena usianya.
Sendainya aku tidak bangun karena
usianya, aku tetap akan bangun
karena kefaqihannya. Dan seandainya
aku tidak bangun karena
kefaqihannya, aku akan tetap bangun
karena sifat wara’nya.”
Habib Ahmad bin Umar al-Hinduan
mengatakan, “Yang membuat orang
orang tidak mendapatkan ilmu
hanyalah karena sedikinya
penghormatan mereka terhadap
orang orang yang berilmu,”
Dua belas Syarat
Syaikh Zakariya dalam kitabnya, al-
Lu’lu’ an-Nazhim fi Rawum at-
Ta’allum wa at-Ta’lim, mengatakan,
“Syarat syarat mempelajari ilmu dan
mengajarkannya ada dua belas (12) :
Pertama , mempelajarinya dengan
maksud sebagaimana ilmu itu dibuat.
Kedua , mencari ilmu yang dapat
diterima oleh tabi’atnya, karena tidak
setiap orang layak untuk mempelajari
berbagai ilmu, dan tidak semua yang
layak mempelajarinya, layak untuk
semuanya, melainkan setiap orang
hanya dimudahkan untuk sesuatu
yang ia diciptakan (ditakdirkan) untuk
itu.
Ketiga , mengetahui tujuan ilmu itu
agar yakin dengan perkaranya.
Keempat , menguasai ilmu itu dari
awal sampai akhir.
Kelima , mencari kitab kitab yang baik
yang mencakup semua disiplin.
Keenam , membaca kepada seorang
guru yang dapat memberikan
bimbingan dan seorang terpercaya
yang dapat memberikan nasihat, dan
tidak berkeras kepala dengan dirinya
dan kecerdasannya.
Ketujuh , bermuzakarah dengan teman
temannya untuk mencari pertahqiqan,
bukan untuk mencari kemenangan,
melainkan untuk menolong
memberikan manfaat dan mengambil
manfaat.
Kedelapan , apabila telah mengetahui
ilmu itu, jangan menyia nyiakannya
dengan mengabaikannya, dan jangan
pula mencegahnya dari orang yang
patut mendapatkannya, berdasarkan
hadits, “Barang siapa mengetahui
suatu ilmu yang bermanfaat lalu ia
menyembunyikannya, niscaya Allah
pada hari Kiyamat memasangkan
kendali pada dirinya denga kendali
dari neraka.” Tapi jangan pula
memberikannya kepada orang yang
tak layak menerimanya, sebagaimana
yang terdapat dalam perkataan para
nabi, “Janganlah kalian ikatkan
permata pada leher babi.” Artinya,
janganlah kalian berikan ilmu kepada
orang yang tak layak menerimanya.
Dan hendaknya mencatat apa yang
dapat disimpulkan.
Kesembilan , jangan meyakini dalam
suatu ilmu bahwa telah mendapatkan
darinya dalam ukuran yang tidak
dapat bertambah lagi, karena itu
suatu kekurangan.
Kesepuluh , mengetahui bahwa setiap
ilmu itu ada batasnya, maka
janganlah melampauinya dan jangan
pula kurang darinya.
Kesebelas , janganlah memasukkan
suatu ilmu pada ilmu yang lain, baik
dalam belajar maupun dalam diskusi,
karena hal itu dapat membingungkan
pemikiran.
Kedua belas , setiap murid dan guru
hendaknya memperhatikan hak yang
lainnya, terutama pihak pertama
(murid), karena gurunya bagaikan
ayahnya bahkan lebih agung, karena
ayahnya telah mengeluarkan dia ke
negeri fana (dunia) sedangkan
gurunya menunjukkannya ke negeri
yang kekal. Demikian dikutip dari
kitab Mathlab al-Iqazh fi Ghurar al-
Alfazh, karya al-Allamah ‘Abdullah
bin Husain Bilfaqih.
Yang Wajib dan Tak Wajib
Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengatakan,
“Aku mendengar Asy-Syafi’i
mengatakan, ‘Penuntut ilmu butuh
tiga perkara: Usia yang panjang,
harta dan kecerdasan.’” Hal itu juga
ia katakan dalam sebuah syair:
saudaraku…
kau tak akan mendapat ilmu
kecuali dengan enam perkara
Aku akan memberitahukan engkau
dengan penjelasan yang terperinci
Kecerdasan, kemauan, kesungguhan,
biaya
juga petunjuk guru dan masa yang
lama
Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi
mengatakan, “Bagi orang yang ingin
mendapatkan manfaat dengan ilmu
untuk dirinya saja tanpa
memperhatikan apakah ilmu itu
bermanfaat untuk orang lain atau
tidak, hendaklah ia mengutamakan
ilmu yang lebih berpengaruh
terhadap hatinya dan lebih dapat
melembutkannya. Dan hendaklah ia
mengikatnya dengan menulis,
mengulang ulangi dan semacamnya,
yang dapat membuatnya bertambah
kukuh. Karena, hal itu lebih
bermanfaat bagi dirinya dibandingkan
banyak ilmu yang tidak membuatnya
mendapatkan pengaruh, kelembutan,
dan kekhusyu’an. Demikian pula
dalam semua perbuatan, keadaan,
dan sebagainya, hendaklah
seseorang mencari yang paling layak
untuknya meskipun tidak layak dan
tidak sesuai bagi orang lain. Ini bagi
orang yang menginginkan
mendapatkan manfaat untuk dirinya
saja.
Adapun orang yang menginginkan
dapat memberikan manfaat kepada
orang lain dengan ilmunya,
hendaklah ia menjadi seperti seorang
dokter yang memperhatikan penyakit,
sebab sebabnya, materinya, dan
memberikan kepada orang yang sakit
itu obat yang sesuai dengan
penyakitnya. Mungkin saja ada orang
yang datang kepadanya yang
memiliki penyakit yang sama, lalu ia
memberikannya obat yang lain, tidak
seperti obat yang diberikannya
kepada orang yang sebelumnya
(meskipun penyakitnya sama), karena
ia tahu bahwa sebab yang
menyebabkan penyakitnya berbeda
dengan sebab yang menyebabkan
penyakit orang lain.
Demikian pula dengan ilmu ilmu, ia
berikan kepada setiap orang yang
patut menerimanya dan tidak
mengukur orang dengan ukuran yang
sesuai bagi dirinya. Ini juga berlaku
pada orang yang ingin membuat
karangan dan semacamnya.”
Demikian dikutip oleh Al-Imam
Muhammad bin Zain bin Semith
dalam kitab Qurrah al-‘Ain wa Jila’
ar-Rayn.
Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-
Haddad mengatakan, “Hendaklah
seseorang menguasai suatu disiplin
ilmu sampai ia dinisbahkan dengan
ilmu itu dan dikenal dengannya.”
Sayyidina Ali mengatakan, “Barang
siapa banyak dalam sesuatu, ia akan
dikenal dengannya.” Dan hendaklah
ia mengambil sekadarnya dalam
setiap ilmu yang lainnya dan
menguasainya secara global,
sehingga, apabila ditanya tentang
sesuatu, ia memiliki pengetahuan
tentang itu dan tidak jahil (bodoh).
Karena itu, Imam As-Suyuti
mengarang kitab An-Nuqayah (kitab
yang mengulas intisari empat belas
ilmu) dan mensyarahkannya. Dan
apabila menghafal (menguasai
sesuatu ilmu), ia menguasai semua
ilmu yang berhubungan dengannya.
“Jika engkau memiliki ilmu tersebut
sekadarnya, dalam ilmu ilmu yang
berkaitan dengannya juga cukup
menguasai sekadarnya, dan lebih
baik bagimu menguasai sepuluh
masalah dengan sebaik baiknya
daripada membaca sebuah kitab
dengan sempurna tetapi tidak
menguasainya.” Demikian yang
dikatakan Imam Abdullah Al-Haddad.
Ia juga mengatakan, “Ilmu ushul itu
ada dua. Pertama , ilmu ushuluddin,
seperti masalah masalah aqidah.
Seseorang harus mengabil ilmu ini
sesuai dengan kebutuhannya, seperti
aqidah yang dijelaskan oleh Imam
al-Ghazali. Kedua , ilmu ushul fiqih.
Ilmu ini sulit dan tidak mudah
dipahami, ia tidak wajib bagi setiap
orang. Maka semestinya seseorang
mengambil dari kedua ilmu ushul tadi
sesuai dengan kebutuhannya yang
mendesak. Kemudian ia mengambil
kitab kitab yang dapat melembutkan
hatinya, menggemarkannya kepada
akhirat, dan membuatnya zuhud di
dunia.
Kemudian ia beibadah dan
bersungguh sungguh dalam
melakukannya, dan banyak membaca
al-Quran dengan kesungguhan.
Apabila tidak memungkinkannya
melakukan itu di sebagian waktu,
hendaklah banyak berzikir dan
melazimkannya dalam setiap
keadaannya, karena umur itu singkat
dan orang yang menganggur menyia
nyiakan sebagian besarnya. Dan
hendaklah puncak perhatian dan
muthala’ahnya adalah pada masalah
masalah yang penting dari hal hal
tersebut tadi. Jadi, ia melakukan
muthala’ah hal hal yang penting dan
menghafal hal hal yang penting. Jika
ia ingin melakukan muthala’ah
mengenai yang lain, ia dapat
melakukan nya kadang kadang saja.”
Demikian dikutip dari kitab Tatsbit al-
Fuad.
Al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi
mengatakan, “Hendaknya seorang
penuntut jalan akhirat senantiasa
mencari cari manfaat dimanapun
berada, baik kepada orang yang ahli
maupun bukan ahli, mau mengambil
dari setiap orang bagaimana pun ia,
baik ia orang alim maupun orang
awam. Karena, terkadang akhlaq
yang bagus ia dapati pada sebagian
orang awam dan tidak ia dapati pada
yang lainnya dan juga tidak pada
dirinya. Diantara keadaan seorang
yang benar adalah mengambil dari
teman bergaulnya segala yang baik
yang ia lihat terdapat padanya baik,
ucapan maupun perbuatan, dan
meninggalkan apa yang buruk
darinya. Apabila ia mengambil
manfaat yang ia dapatkan padanya,
janganlah ia mengambil kerusakan
dan penyimpangan yang ada pada
orang itu.” Demikian dari kitab
Qurrah al-‘Ain.
Ia juga mengatakan, “Pemahaman itu
bagi yang memilikinya merupakan
nikmat yang sangat besar, tetapi
mereka terkadang tidak
merasakannya sebagai nikmat,
karena mereka memandang hal itu
bisa diperoleh dari membaca kitab,
misalnya. Dan orang yang melakukan
muthala’ah kitab kitab hendaknya
memohon pertolongan kepada Allah
agar memudahkan pemahaman
baginya dan dapat
membayangkannya sehingga ia dapat
memperoleh apa yang dituntut dan
Allah membukakan baginya
pemahaman dalam agama.” Demikian
keterangan dari kitab Qurrah al-‘Ain.
Al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Attas
mengatakan, “Ada dua perkara yang
baik untuk diperhatikan oleh seorang
penuntut ilmu: Pertama, ia tidak
masuk pada sesuatu dari ilmu ilmu
dan amal amalnya melainkan dengan
niat yang baik. Kedua, ia
memperhatikan buah dari hasilnya.
Apabila tidak memperhatikan ini, ia
tidak mendapatkan manfaat.”
Ia juga mengatakan, “Apabila seorang
penuntut ilmu membaca suatu kaidah
dan ia ingin menghafalnya tetapi
tidak ada padanya tinta dan tidak ada
pula pena, hendaklah ia menulisnya
dengan jarinya pada tangannya atau
pada lengannya.”
Diriwayatkan, suatu ketika Imam
Syafi’i sempai di Madinah dan duduk
di halaqah Imam Malik. Ketika itu
Imam Malik sedang mendiktekan
kitab Al-Muwathta’ kepada orang
orang yang ada disana. Imam Malik
mendiktekan 18 hadits sedangkan
Imam Syafi’i berada dibarisan
belakang. Imam Malik menatapnya
dengan pandangannya ketika Imam
Syafi’i menulis dengan jarinya pada
punggung tangannya.
Ketika jama’ah majelis telah bubar,
Imam Malik memanggilnya dengan
bertanya kepadanya tentang
negerinya dan nasabnya.
Maka Imam Syafi’i pun
memberitahukannya.
Lalu Imam Malik berkata kepadanya,
“Aku melihatmu memain mainkan
tanganmu di punggung telapak
tanganmu.”
Imam Syafi’i menjawab, “Tidak,
melainkan apabila Tuan mendiktekan
sebuah hadits, saya menulisnya
diatas punggung tangan saya. Jika
tuan mau, saya akan ulangi apa yang
tuan diktekan kepada kami.”
Imam Malik berkata, “Bacakanlah.”
Maka Imam Syafi’i pun mendiktekan
18 hadits yang semula didiktekan
oleh imam Malik.
Melihat itu, Imam Malik pun
mendekatkannya kepada dirinya.
***
Wallahu a’lam
Sumber majalah alKisah Agustus
2010
Selasa, 28 Januari 2014
Kisah-Kisah Penuntut Ilmu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar